Disparitas Ekonomi dan Tenaga Kerja

KOSADATA- Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 7 Agustus 2023 merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami kenaikan dari 5,04% pada kuartal I menjadi 5,17% pada kuartal II. Merujuk pada data tersebut, banyak pihak terutama dari kalangan pemerintah memberikan “pujian” atas kinerja pemerintah yang telah berhasil menggenjot ekonomi hingga mencapai pertumbuhan ekonomi yang disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai “keren abis” (Validnews, 2023). Presiden Joko Widodo bahkan menyebut bahwa diantara Negara-negara G20, hanya Indonesia, India dan China yang perekonomiannya mampu tumbuh diatas 5% (www.liputan6.com, 2023). 

Pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai sayangnya belum mampu menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan. Meskipun terjadi penurunan angka pengangguran terbuka misalnya dari 8,40 juta pada Februari 2023 menjadi sekitar 7,99 juta orang pada Februari 2023 (CNBC, 2023) tetapi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menghantui para pekerja. Sepanjang semester 1 tahun 2023 saja, menurut rilis Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terjadi 26.400 PHK. Ini pun berdasarkan catatan dari sekitar 26 provinsi. Artinya, besarnya angka PHK disinyalir lebih besar dari yang disebutkan Kemenaker diatas. Belum lagi jika dilihat dari keseluruhan angkatan kerja, sebagian besar tenaga kerja kita ternyata bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, sopir angkot, tukang becak dan lain-lain yang notabene-nya sangat rawan dan berisiko sebab pendapatannya tidak pasti, upah minim dan tidak memiliki perlindungan sosial (detikfinance, 2023). 

Meningkatnya pekerja di sektor informal merupakan indikasi kuat betapa masalah ketenagakerjaan masih menjadi persaoalan besar yang masih sulit diatasi oleh pemerintah. Terkait dengan hal ini, maka ada dua hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, meningkatnya pekerja informal terutama disebabkan oleh rendahnya