KOSADATA – Wacana kenaikan biaya haji, membuat Anggota DPR RI Fadli Zon berkomentar. Terkait hal ini, ia pun meminta audit khusus terhadap Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) atas penggunaan dana haji selama ini.
Menurutnya, usulan kenaikan kenaikan biaya haji menyalahi prinsip tata kelola penyelenggaraan haji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.
Diketahui, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang diusulkan Kemenag naik menjadi Rp98,89 juta per jamaah, atau naik Rp514,88 ribu jika dibandingkan 2022. Namun, biaya yang harus ditanggung jamaah mencapai 70 persen, atau Rp69,19 juta per orang. Sementara, 30 persen sisanya atau Rp29,7 juta, dibayarkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji.
“Secara umum, dalam catatan saya, ada beberapa alasan kenapa usulan itu sangat tidak wajar dan perlu ditolak,” kata Fadli kepada wartawan melalui keterangannya yang dikutip Senin (30/1/2023)
Pertama, Fadli menjelaskan, merujuk kepada UU Nomor. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, jelas disebutkan bahwa urusan haji ini bukan hanya semata-mata soal ekonomi, tapi juga menyangkut hak warga negara dalam beribadah, di mana negara seharusnya hadir memberikan perlindungan dan pelayanan yang terbaik.
“Mengubah komposisi biaya yang harus ditanggung jamaah dalam porsi yang drastis sangatlah tak bisa dibenarkan,” ujarnya.
Kedua, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini melanjutkan, asumsi-asumsi yang mendasari kenaikan tersebut juga tidak riil. Angka inflasi global sepanjang tahun lalu diperkirakan hanya 8,8 persen. Di dalam negeri, angka inflasi kita juga hanya 5,5 persen. Harga minyak dunia dan avtur juga cenderung turun dan stabil.
“Penurunan tersebut jelas bisa mengurangi komponen biaya penerbangan,” ucap Fadli.
Selain itu, kata mantan Wakil Ketua DPR RI inu, pemerintah Arab Saudi juga telah menyampaikan bahwa secara umum harga akomodasi haji tahun ini akan 30 persen lebih murah dibanding tahun lalu, saat kuota belum normal karena pandemi. Sehingga, di tengah semua penurunan tersebut, jelas ada masalah tata kelola yang serius jika pemerintah justru menaikkan porsi biaya yang harus dibayarkan oleh jamaah haji Indonesia. Bahkan jika besaran kenaikannya lebih dari 73 persen.
Ketiga, Fadli menambahkan, pada awal Januari 2023, KPK sudah mengingatkan pemerintah bahwa ada persoalan serius dalam hal tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. Menurut hasil kajian Direktorat Monitoring KPK, ada tiga titik rawan korupsi dana penyelenggaraan haji, yaitu biaya akomodasi, biaya konsumsi, dan juga biaya pengawasan. Menurut temuan KPK, kerugian negara yang timbul dari tiga celah tadi cukup besar, mencapai Rp160 miliar.
“Selain itu, ini yang paling serius, KPK juga menengarai penempatan dan investasi dana haji kita tidak optimal, sehingga perolehan nilai manfaat dana haji kita jauh lebih kecil daripada yang seharusnya bisa didapat,” kata Anggota Komisi I DPR RI ini
Menurut Fadli, temuan KPK itu adalah temuan serius yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Karena itu, ia menegaskan, jangan sampai masalah dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji kemudian dialihkan tanggungannya kepada para jamaah.
Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini juga berpesan, agar jamaah haji Indonesia yang sudah menyetorkan uang ke bank selama belasan, bahkan hingga lebih dari dua puluh tahun untuk berangkat haji, namun ketika giliran mereka berangkat harus membayar biaya yang sangat mahal hanya karena pemerintah yang dinilainya tak becus mengelola uang umat adalah sebuah kezaliman
“Ini kan zalim namanya” tutur Fadli.
Karena itu, Fadli meminta agar seluruh jalur investasi dan penempatan dana haji ini, mestinya diaudit khusus terlebih dahulu, termasuk audit khusus kepada BPKH. Hal ini untuk mengetahui posisi sustainabilitas pengelolaan dana haji Indonesia ke depannya. Jangan sampai para jamaah haji, yang sebagian besar hanya petani dan orang-orang kecil, dengan dalih prinsip istitha’ah (kemampuan) berhaji, harus menanggung kesalahan tata kelola keuangan haji ini.
Keempat, kata Fadli, biaya yang harus dibayar oleh jemaah haji Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan jemaah haji negeri jiran Malaysia. Padahal, jumlah jemaah haji yang berasal dari Indonesia terbesar di dunia. Jamaah reguler saja mencapai 203.320 orang.
Fadli menjelaskan, Malaysia membagi jamaah haji dengan dua kategori, yakni B40 atau penduduk dengan pendapatan 40% terbawah; dan Bukan B40 untuk selebihnya. Secara keseluruhan, biaya total ongkos naik haji di Malaysia dan Indonesia relatif sama, berada di limit Rp100 juta. Namun, biaya yang harus dibayarkan jamaah B40 di Malaysia hanya sebesar MYR 10.980 (Rp38,59 juta). Sedangkan jamaah yang tergolong Bukan B40 juga hanya membayar MYR 12.980 (Rp45,62 juta), sisanya ditanggung oleh lembaga Tabung Haji.
“Dengan jumlah jemaah haji yang besar, jika dikelola dengan benar, mestinya akumulasi dana haji yang terkumpul bisa mendatangkan nilai manfaat yang besar untuk jamaah haji kita, bukan mendatangkan nilai manfaat untuk pihak lain sebagaimana ditengarai KPK” paparnya.
Oleh karena itu, dia menegaskan, dengan empat catatan tersebut tidak sepantasnya beban pembiayaan haji ditanggungkan sebesar-besarnya kepada calon jamaah haji yang sudah menyetorkan uang dan mengendapkan saldonya di bank. Tidak bisa BPKH dan Kemenag mengajukan dalih keberlangsungan penyelenggaraan haji secara sepihak, tanpa ada audit investigasi yang menyeluruh terhadap pengelolaan dana haji selama ini.
“Kenaikan biaya haji adalah hal yang niscaya. Namun besarannya pastilah tidak setinggi sebagaimana yang telah diusulkan oleh Kemenag dan BPKH,” tandasnya.
Kelompok 3 Praktikan PLKJ 34 Cibegol Targetkan Cetak Buku Bersama di Tasikmalaya
Feb 25, 2023
Comments 0