Oleh: Agustinus Tamtama Putra
Alumnus Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Pemerhati Kebijakan Publik
KOSADATA - “Untuk menjadi sungguh hebat, negara harus berdiri bersama rakyatnya, bukan di atasnya,” ungkap Montesquieu dalam The Spirit of the Law, (1758). Pada 18 April 2022 ditetapkan, diundangkan sekaligus diberlakukan Peraturan Presiden nomor 63 tahun 2022 tentang Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Dengan demikian, status resmi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta.
Pertanyaannya, quo vadis Jakarta pasca pemindahan Ibu Kota dan bagaimana negara “berdiri bersama rakyatnya” untuk konteks Jakarta? Mengapa sarana transportasi publik berperan penting bukan hanya guna menyokong ekonomi Jakarta melainkan juga membina mentalitas etis dan peradaban bangsa? Bagaimana Jakarta dikembangkan berdasarkan Perpres Kawasan Strategis Nasional?
Meninjau Jakarta
“Tidak ada bangsa yang kuat, seperti yang mematuhi hukum bukan dari prinsip ketakutan (principals of fear) atau akal (reason), tetapi dari gairah atau semangat (passion),” ungkap Montesquieu (1689-1755), filsuf Prancis abad ke-18. Jakarta kiranya sudah memuat banyak orang pintar dalam berlogika. Tidak kurang juga orang-orang yang sanggup berkomentar, memberi kritik dan saran, tentang Jakarta.
Ketakutan-ketakutan pun bermunculan dalam konteks kehidupan urban Jakarta, utamanya dari problem kompleks metropolitan. Hanya bagi Montesquieu, kriteria bangsa yang kuat ialah yang memiliki gairah atau semangat (passion) untuk maju.
Presiden Joko Widodo belum lama ini meminta Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk menjadikan Jakarta sebagai kota percontohan angkutan massal. Hal ini kiranya merupakan upaya yang selaras dengan status Jakarta ke depan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), tetapi juga tentang passion yang penting dalam kehidupan mental bangsa.
Tentu saja, angkutan massal merupakan satu dari banyak elemen penting yang berperan menyangga mobilitas masyarakat yang kemudian pada gilirannya memutar pula roda perekonomian Jakarta, tetapi juga merupakan upaya pemenuhan hak dan kewajiban (right and obligation) dari negara untuk rakyatnya.
Secara etis, ketersediaan sarana publik memang merupakan hak warga negara. Adalah kewajiban bagi negara untuk menyediakan sarana transportasi yang bukan hanya secara pragmatis-utilitarian bermanfaat untuk ekonomi, tetapi juga mengangkat peradaban dan mentalitas bangsa ke taraf yang lebih baik.
Tinjauan atas Jakarta ke depan bisa dari aspek transportasi ini, sebab kiranya tepat bahwa ukuran kemajuan dan keberhasilan sebuah negara bisa dilihat dari ketersediaan, kenyamanan dan kompatibilitas dari sarana transportasi publik. Sebagaimana di Jepang yang sudah sangat maju dalam hal angkutan umum, angkutan massal di Jakarta juga krusial dan vital.
Jakarta dibanjiri jutaan manusia yang datang dan pergi untuk bekerja di wilayahnya. Ini tentu saja mensyaratkan sarana transportasi publik yang nyaman, kompak dan terintegrasi demi mobilitas yang lancar.
Harapannya Jakarta juga bisa menyamai Jepang bukan hanya dalam ketersediaan, ketepatan waktu dan kenyamanan alat transportasi publik, tetapi juga dalam pemahaman filosofis bahwa hak-hak sipil warga negara terpenuhi, etika lingkungan hidup yang lebih ekologis dilaksanakan, bangsa yang transformatif berdasarkan passion juga dibina lewatnya.
Dalam tulisannya, Heru Budi Hartono menyinggung sedikit tentang Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional yang akan terus maju utamanya dalam bidang transportasi.
Transportasi massal tentu saja untuk menunjang perekonomian. Namun tidak hanya itu, jika diangkat ke tataran pemaknaan sarana transportasi menunjukkan mentalitas bangsa.
Keteraturan, ketepatan waktu, etos kerja, penghargaan terhadap orang lain, solidaritas terhadap yang lebih membutuhkan, simpati dan empati, ketenangan, fairness dan kesabaran merupakan nilai-nilai etis yang efektif dibina ketika orang memakai sarana transportasi publik.
Maka ketersediaan sarana trasportasi publik memang utama untuk terus mendongkrak sektor ekonomi, tetapi juga sarana yang ampuh untuk pendidikan mental-emosional-spiritual bangsa. Bangsa yang tertib di angkutan umum, yang berangkat dan pulang bekerja dengan semangat (passion) yang tinggi, adalah bangsa yang kuat.
Rencana pembangunan dan peningkatan sarana trasportasi publik coba diupayakan oleh Pemda DKI Jakarta hingga tahun 2030.
Mempertimbangkan permintaan Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Jakarta sebagai kota percontohan angkutan massal, pemerintah DKI Jakarta sudah merencanakan pengembangan jalur-jalur dan ketersediaan unit-unit angkutan massal. Perluasan dan perpanjangan trayek serta pengadaan unit akan kemudian memperluas jangkauan transportasi massal.
Orang-orang akan lebih mudah mengakses sarana transportasi dan dengan demikian mudah pula untuk bepergian guna bekerja dan beraktivitas. Lengkap dengan anggaran dan estimasi biayanya, Heru Budi Hartono kiranya sudah mencoba menjawab permintaan presiden.
Tinggal kita lihat pelaksanaan ke depannya apakah pembangunan ini juga memperhatikan dimensi etis-ekologis-kewajiban juga mentalitas bangsa yang semakin unggul seperti diharapkan di atas. Pembangunan bukan hanya praktis-pragmatis-utilitarian, tetapi juga etis-humanis-deontologis.
Quo vadis, Jakarta?
Visi dan upaya pemerintah DKI Jakarta menyongsong status baru sebagai Kawasan Strategis Nasional yang maju dan berkembang kiranya patut didukung, tetapi juga didampingi dan diawasi oleh berbagai pemangku kebijakan dan pihak terkait.
Filsafat dalam hal ini berkepentingan memberikan pertimbangan etis humanis terkait kebijakan. Pembangunan transportasi yang dimaksud dengan demikian menyentuh ranah kemanusiaan.
Pemerintah DKI Jakarta dengan rencana program yang visioner seperti di atas kiranya juga mampu mewujudnyatakannya dalam kerja bersama yang sinergis di pemerintahan DKI Jakarta setidaknya untuk 8 tahun ke depan, dengan catatan tidak mengabaikan peradaban manusia yang lebih baik.
Pertanyaan ke mana arah Jakarta juga dijawab dengan menjadikan DKI Jakarta sebagai kota perdagangan yang disokong oleh infrastruktur yang edukatif dalam membina mentalitas manusia yang adil dan berabab (bdk. Sila kedua Pancasila).
Permintaan Montesquieu agar Jakarta tetap “bersama rakyatnya” dijawab dengan coba mengangkat dimensi etis pembangunan demi kemajuan baik fisik maupun mental, profan maupun spiritual.
Kelompok 3 Praktikan PLKJ 34 Cibegol Targetkan Cetak Buku Bersama di Tasikmalaya
Feb 25, 2023Drawing Ditunda, Indonesia Terancam Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 2023
Mar 28, 2023Mau Tukar Uang Baru Buat Lebaran? Berikut Lokasinya di Jakarta, Bogor dan Tangerang
Mar 27, 2023
Comments 0