Sisi Gelap Kehidupan Pemulung Sebagai Tragedi Kemanusiaan

Peri Irawan
Aug 01, 2023

Kondisi pemulung di TPST Bantargebang. Foto: KPNas

Rp 150 ribu sehari. 

 

Ia bilang pingin memberi uang orang tuanya. Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan sendiri tidak mencukupi. Keadaan buruk tersebut disebabkan turunnya harga hampir semua sampah pungutan hingga 50-60%. Kondisi buruk ini dirasakan kawan-kawannya di Bantargebang.

 

“Saya pingin harganya kayak dulu lagi. Emberan Rp 2.500 per kg, sekarang turun jadi Rp 1.700 per kg. Jauh banget. Pingin harga naik seperti dulu. Busyeet daah kalo sekarang, buat orang tua nggak ada. Untuk jajan aja susah,” keluh Herman.

 

Beberapa temannya, yang duduk bersebelahan dan lainnya sedang memasukan sampah ke karung, ketika ditanya apa penyebab harga sampah turun. Mereka menjawab, kata bosnya harganya sedang turun. Setiap ditanya, dijawab bosnya, harga sedang turun dari sananya.

 

Mereka tidak mengadu ke lembaga pemerintah atau otoritas manapun. Mereka bilang, kami pemulung orang bawah, orang miskin hanya diam, menunggu keadaan mungkin suatu saat harga pulih lagi. Mereka hanya pasrah terhadap keadaan. Itu bagian sisi gelap kehidupan pemulung yang tidak diberitakan media. 

 

Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) dan Yayasan Kajian Sampah Nasional (YKSN) memdalami kajian turunnya harga berbagai sampah pungutan pemulung dan dampaknya terhadap kehidupannya. Kajian tersebut dilakukan sejak 2019 sampai Juli 2023. Hari-hari belakangan merupakan klimaks kesengaraan mereka.

 

Pengurus APPI dan juga pengepul, Duplok Nursaidi (45 th) mengungkapkan kekesalannya. Bahwa selama ini media hanya menceritakan sisi baiknya saja. Ketika pemulung dan pelapak terkapar dan sangat menderita tidak ada media yang berani memberitakan.

 

“Sekarang yang terjadi bukan turun harga, tetapi pindah harga. Kalau turun Rp 100 ribu, Rp 200.


1 2 3 4

Related Post

Post a Comment

Comments 0