M. Natsir, Cermin Dari World View Islam

Joeang Elkamali
Jan 31, 2024

Kajian Pemikiran Islam.

KOSADATA- Seseorang yang memiliki worldview Islam dibuktikan dengan visi Islam yang diemban secara kuat dalam bidang yang digelutinya. Dalam ranah politik, terutama bagi para praktisi politik, kita telah menjumpai tokoh-tokoh yang memiliki hal ini. Muhammad. Natsir, misalnya dengan partai Masyuminya, secara tegas ingin menegakkan demokrasi Islam. Dalam pidatonya di depan sidang Pleno Konstituante, 1957, Natsir menyatakan: 

“Saudara ketua, timbul pertanyaan: Apakah sekarang negara yang berdasarkan Islam seperti itu satu negara teokrasi? Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan di mana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (Tingkat bertingkat), dan menjalankan Demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.”

Apa yang diusung oleh Natsir dalam sistem kenegaraan Indonesia tersebut adalah usaha Islamisasi demokrasi yang pada waktu itu telah ditetapkan menjadi sistem negara. Sebab, sebagaimana para tokoh Islam lainnya, Natsir memahami betul bahwa demokrasi mengadungi makna yang bermasalah. Falsafahnya yaitu “Vox Populi Vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) mencirikan bahwa rakyat merupakan perwakilan Tuhan di bumi dalam membuat kebijakan hukum. Karenanya, bagaimana pun hukum yang muncul dari kesepakatan rakyat bisa dianggap benar. Hal ini merupakan dasar demokrasi yang tidak sesuai dengan Islam. 

Dalam Islam, suatu pemerintahan bukanlah teokrasi, sebagaimana telah dijelaskan oleh M. Natsir.  Pemerintah bukan merupakan wakil Tuhan di bumi sehingga dapat dengan bebas membuat aturan apapun, melainkan sebagai pelaksana hukum Tuhan. Artinya, dasar pemerintahan Islam adalah pedoman yang diturunkan oleh Tuhan berupa wahyu, dan bukan humanisme sebagaimana dalam demokrasi sekuler. Hal inilah yang diusung oleh Natsir, yaitu agar demokrasi tidak dimaknai sekuler. Secara tegas belitu mengkritik negara sekuler dengan mengatakan,

“juga kaum sekularis memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia yang ditentukan oleh kondisi kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekularis, doktrin agama dan Tuhan relative dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan, tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan Manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda). Di negara sekular, masalah-masalah ekonomi, hukum, Pendidikan, sosial, dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual.”

Dari pandangannya di atas, dapat diketahui bahwa kiprah politik Natsir tidak dimotori oleh arus materialisme, melainkan oleh pandangan hidup Islam. Beliau mensyaratkan aturan negara berlandaskan wahyu dan nilai-nilai spiritual, bukan materialisme yang hanya mengejar kekayaan dari jabatan. Karena itu, Bagi beliau, demokrasi hanya sebatas sistem formal tentang peralihan dan penyelenggaraan negara. Sementara itu, dalam menentukan baik dan buruknya hukum, Natsir tetap menyuarakan Islam sebagai tolak ukurnya. 

Selain mengusung Syari’at Islam sebagai dasar hukum negara, keteguhan visi Islam Natsir dalam bidang politik dilihat dari pandangannya tentang tujuan politik atau kekuasaan. Baginya, peruntukan politik hanyalah untuk dua hal, yaitu; agama dan Masyarakat, tidak ada tujuan pribadi. Ia dengan tegas menyatakan, 

“suatu negeri yang pemerintahannya tidak mempedulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak mencukupkan sarana yang perlu untuk kemajuan agar jangan tercecer dari negeri-negeri lain, dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat dengan memakai “Islam” sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok sedangkan kepada-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan tahayul, khurafat merajalela sebagai mana Keadaan pemerintahan Turki pada zaman sultan-sultannya yang akhir-akhir maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam”

Idealismenya tersebut tertuang dalam anggaran dasar partai yang digagasnya, Masyumi. Partai yang dilahirkan dari kongres Umat Islam Indonesia di Jogja pada 18 November 1945 ini, bertujuan “terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara republik Indonesia” (Anggaran Dasar Partai Masyumi, Pasal III). Tujuan itu sebagaimana dalam Tafsir Asas partainya dilandaskan pada ayat al-Qur’an Surah Ali Imran: 112; “ditimpakan atas mereka kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali orang-orang yang tetap menjaga hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama Manusia…”

Kondisi negara yang “baldatun thayyibatun warabbun ghafur” betul-betul diyakini oleh masyumi dengan cara menerapkan ayat ali Imran di atas. Pertama, menjaga hubungan yang baik dengan Allah SWT. (hablun minallah). Kedua, menciptakan hubungan yang baik di antara Manusia. Keduanya diwujudkan dengan cara penerapan syari’at dalam urusan kenegaraan dan menerapkan ajaran Islam tentang keadilan, kemanan, dan kesejahteraan sosial. 

Karena itu, natsir betul-betul memiliki mental yang baik. Dengan visi Islamnya, ia tidak merasa malu bergaya hidup sederhana meskipun berada dalam jantung pemerintahan. Ketika menjabat sebagai perdana Menteri, ia mendapatkan rumah dan mobil dinas sederhana. Selepasnya beliau menjabat, ia kembalikan lagi perangkat pendukung tersebut, dan Kembali tinggal di rumah kontrakannya dengan bepergian menggunakan sepeda ontel seperti sebelum ia menjabat.

*Ditulis oleh Cep Gilang Fikri Asshhufi, S. Hum, M. Ag.

Related Post

Post a Comment

Comments 0