Mungkinkah Wakaf Menjadi Sumber Fiskal Negara?

Isma Nanik
Jul 25, 2024

Jaja Zarkasyi, Kasubdit Pengamanan Aset Wakaf. Foto: YT Ditjen Bina Islam

Oleh: Jaja Zarkasyi, M.A. 

Kasubdit Pengamanan Aset Wakaf

 

Diskursus kebijakan fiskal dalam sejarah Islam membawa kita pada sebuah gambaran utuh bahwa sistem pemerintahan Islam tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan distribusi kekayaan yang seimbang dalam masyarakat. Tujuannya mengatur pemasukan dan pengeluaran negara guna mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi. Kebijakan fiskal di era Islam bukan hanya mengatur aspek finansial negara, tetapi juga berperan dalam menciptakan harmoni sosial dan keadilan ekonomi.

 

Dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyebut beberapa sumber pemasukan negara dalam perspektif ekonomi Islam mencakup zakat, kharaj (pajak pertanian), jizyah (pajak perorangan bagi non-Muslim), khums (pajak harta rampasan perang), usyur (pajak perdagangan), warisan kalalah (harta peninggalan orang yang tidak mempunyai ahli waris), kaffarat (denda), hibah, dan pendapatan lain yang bersumber dari usaha yang halal.

 

Pada era Abu Bakar hingga Dinasti Abbasiyah misalnya, pengelolaan sumber pendapatan negara mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Khalifah Umar menginisiasi cikal bakal Kementerian Keuangan seiring dengan semakin banyaknya harta rampasan perang yang tak lagi cukup dikelola oleh Baitul Maal. Muawiyah bin Abu Sufyan juga melakukan hal yang sama dengan membentuk beberapa lembaga administratif untuk mengelola sumber pendapatan negara, salah satunya membentuk Diwan Kharraj yang bertugas mengadministrasi, mengelola, dan mendistribusikan manfaat pajak secara merata bagi kemaslahatan umum.

 

Zakat, infak, sedekah, dan wakaf memegang peran penting dalam sistem fiskal. Zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah mencapai nisab, mengeluarkan sebagian hartanya kepada yang berhak menerimanya, seperti fakir miskin dan asnaf lainnya. Sementara itu, infak, sedekah, dan wakaf merupakan pemberian sukarela yang sangat dianjurkan dalam Islam. Semuanya bertemu dalam satu tujuan yang sama, yakni menciptakan kesejahteraan sosial.

 

Salah satu bentuk kebijakan fiskal dalam sejarah Islam adalah tata kelola zakat dan wakaf. Hadirnya negara dalam tata kelola ZISWAF tak dapat dilepaskan dari upaya mempertemukan pihak surplus (muzaki) dengan pihak defisit (mustahik). Dalam relasi sosial, keduanya terhubung melalui semangat pemerataan pendapatan, tujuannya adalah kelompok yang sebelumnya berada dalam kondisi defisit (mustahik) dapat bertransformasi menjadi kelompok surplus (muzaki). Dengan demikian, hadirnya negara bukan dalam konteks mengambil alih peran lembaga keagamaan, melainkan memfasilitasi tumbuhkembangnya tata kelola ZISWAF sebagaimana tujuan yang ditetapkan syariat agama.

 

Jika sumber pemasukan negara seperti kharaj dan jizyah berkontribusi dalam pembiayaan negara dan pembangunan infrastruktur, tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan kesejahteraan umum, maka ZISWAF juga berperan dalam program-program jaring pengaman sosial, pemenuhan infrastruktur keagamaan hingga pengembangan SDM. Maka kita dapat menjumpai bagaimana wakaf ditugaskan memberikan bantuan ekonomi bagi keluarga baru di era Dinasti Fatimiyah dan Mamalik, atau mendirikan Universitas al-Azhar di Kairo Mesir.

 

Dalam konteks Indonesia, peran wakaf sebagai salah satu sumber fiskal ternyata tak banyak disadari oleh publik. Padahal tercatat ribuan aset wakaf berupa tanah dan bangunan telah digunakan secara efektif untuk mendukung berbagai fasilitas publik yang krusial, seperti fasilitas pendidikan, layanan kesehatan hingga layanan publik lainnya. Sebagai contoh, sekitar 1.100 Kantor Urusan Agama (KUA) di seluruh Indonesia berdiri di atas tanah wakaf dengan total umat Islam sebanyak 51.383.444 orang, mendapat layanan keagamaan.

 

Peran lainnya adalah menyediakan lahan pemakaman umum yang tersebar di 19.000 titik di seluruh Indonesia. Keberadaan lahan wakaf untuk pemakaman ini mengurangi beban negara dalam menyediakan lahan kuburan yang semakin terbatas, terutama di daerah perkotaan. TPU yang berdiri di atas tanah wakaf ini menjadi bukti bahwa wakaf berperan penting dalam mengakomodir kebutuhan sosial Masyarakat.

 

Lebih luas, wakaf juga berkontribusi besar dalam bidang pendidikan. Menurut data dari Kementerian Agama, saat ini terdapat sekitar 55.103 lokasi madrasah yang tersebar di seluruh Indonesia. Madrasah ini terdiri dari Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA), dengan jumlah total siswa mencapai 9.127.047 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 47.443 lokasi madrasah menempati aset wakaf. Artinya, sekitar 86% dari total madrasah di Indonesia berdiri di atas tanah yang diwakafkan. Hal ini semakin memperkuat peran wakaf sebagai penopang infrastruktur pendidikan.

 

Lalu, bagaimana strategi memperkuat wakaf sebagai sumber fiskal negara di masa depan?

 

Dalam beberapa diskusi, saya menjumpai ragam pertanyaan: Bagaimana strategi memperluas manfaat wakaf dalam mendukung pembangunan Nasional? Pertanyaan ini tentu tak dapat dilepaskan dari potensi dan peran wakaf selama ini yang nyata membangun Indonesia. Di masa depan, tata kelola wakaf tak lagi harus terus terpisah dari rencana pembangunan Nasional, melainkan harus berada dalam roadmap RPJPN.

 

Peran wakaf di masa lalu dan potensinya hari ini harus kita turunkan dalam kebijakan Nasional. Lahirnya UU wakaf Nomor 41 tahun 2004 dan berbagai turunannya diakui belum maksimal mendorong tata kelola wakaf yang masif. Tugas kita hari ini adalah bagaimana memperluas peran wakaf dalam kerangka RPJPN 2025-2045 secara terukur dan terintegrasi.

 

Saya mengikuti dua event Festival Ekonomi Syariah (Fesyar) 2024 yang digelar di Batam Provinsi Kep. Riau dan Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Pesertanya adalah lembaga amil zakat dan wakaf. Salah satu fakta sangat nyata adalah, bahwa praktik wakaf untuk pemberdayaan ekonomi telah dilakukan dalam skala mikro. Fakta lainnya, aset wakaf yang diproduktifkan juga berkaitan dengan instansi lain. Artinya, pemberdayaan wakaf dalam isu-isu ekonomi dan pendidikan telah dipraktikkan.

 

Dalam event tersebut berkembang beberapa diskusi bersama DEKS BI, akademisi, praktisi zakat dan wakaf, hingga para peneliti. Dari semua diskusi itu saya coba rangkum beberapa langkah untuk memperkuat wakaf sebagai sumber fiskal negara di masa depan, beberapa strategi perlu diterapkan.

 

Pertama, restrukturisasi regulasi dan tata kelola wakaf uang. Potensi wakaf uang yang besar berasal dari sifatnya yang fleksibel dan dapat diinvestasikan dalam berbagai instrumen keuangan yang menguntungkan. Akibatnya, hasil dari wakaf uang dapat digunakan untuk membiayai berbagai proyek publik yang mendukung pembangunan nasional.

 

Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Wakaf Uang merupakan regulasi teknis sebagai turunan dari UU 41 tahun 2004. Namun regulasi ini perlu untuk disempurnakan, terutama dalam merespons perkembangan perbankan dan digitalisasi layanan keuangan yang berkembang di masyarakat. Setidaknya kita perlu menambahkan klausul pengawasan, pelaporan dan penyaluran secara terintegrasi dalam satu sistem informasi.

 

Kedua, optimalisasi pemanfaatan wakaf tanah, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan rumah susun, perkantoran hingga pemakaman. Sejatinya program ini telah dimulai dengan pembangunan Rumah Susun di atas tanah wakaf, namun duplikasi atas program ini perlu dilakukan agar aset-aset wakaf benar-benar dapat dimanfaatkan. Dalam sebuah diskusi dengan akademisi Universitas Asyafiiyah Jakarta, saya berkesempatan mengikuti paparan bagaimana aset wakaf di masa depan akan menjadi solusi bagi pemenuhan kebutuhan rumah khususnya menyongsong bonus demografi.

 

Ketiga, diversifikasi jenis wakaf dengan mendorong wakaf bergerak selain uang, seperti wakaf saham, wakaf emas, atau wakaf properti. Sejatinya PMA Nomor 73 Tahun 2013 telah menyinggung perihal layanan harta benda wakaf bergerak selain uang. Namun harus diakui bahwa perlu penyempurnaan dengan menambahkan klausul sistem administrasi harta benda wakaf bergerak selain uang dan juga penetapan PPAIW. Hal ini penting agar semangat diversifikasi ini akan memperluas basis aset wakaf dan mengurangi risiko yang mungkin timbul dari ketergantungan pada satu jenis aset saja. Wakaf saham misalnya, potensial dapat memberikan keuntungan jangka panjang melalui dividen, kemudian dapat digunakan untuk kepentingan umum.

 

Keempat, reformulasi regulasi dan kebijakan yang mendukung pengelolaan wakaf di era RPJPN 2025-2045. Revisi UU 41 Tahun 2004 tentu menjadi fokus yang tak bisa ditunda, selain beberapa kebijakan mikro juga perlu diperkuat seperti kelembagaan BWI, pengelolaan aset wakaf terbengkalai dan lainnya. Kita perlu memastikan relevansi dari kerangka hukum yang ada, tujuannya memungkinkan inovasi dalam pengelolaan wakaf.

 

Penugasan Khusus

 

Berbeda dengan pajak, peran pemerintah tentu tak harus mengelola langsung harta benda wakaf. Penugasan khusus, saya lebih memilih diksi ini, untuk menggambarkan relasi negara dan wakaf dalam menyukseskan pembangunan Nasional menuju Indonesia Emas 2045. Dengan penugasan khusus ini, wakaf dapat dimanfaatkan secara efektif untuk meratakan pemberdayaan ekonomi dan menyediakan lahan untuk pembangunan yang mendukung pertumbuhan masyarakat.

 

Tugas khusus tersebut adalah dengan memberikan mandat untuk mengatasi isu-isu strategis dalam pembangunan keagamaan. Langkah ini memungkinkan Lembaga wakaf untuk berperan lebih aktif dalam sektor keagamaan tanpa harus melibatkan pengelolaan langsung oleh negara. Adapun posisi dan peran negara adalah memperkuat perizinan, pengawasan, dan memberikan mandat yang jelas.

 

Dalam merespon RPJPN 2025-2045, berikut beberapa isu yang patut dikembangkan dalam penugasan khusus wakaf.

 

Pertama, pembangunan dan pengembangan kawasan ekonomi khusus. Kolaborasi wakaf uang dan wakaf tanah menjadi opsi terdekat untuk membangun dan mengembangkan kawasan ekonomi lokal. Fokusnya adalah pada pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM). Kawasan ekonomi khusus ini menghadirkan integrasi antara pusat-pusat bisnis, pasar lokal, atau kawasan industri kecil yang menyediakan fasilitas dan dukungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Tujuannya mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Kedua, fasilitasi program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan. Program ini fokus pada pengembangan keterampilan teknis, manajerial, dan bisnis bagi masyarakat kurang mampu atau calon pengusaha. Program ini sejalan dengan rencana pemenuhan SDM berdaya saing global. Dalam hal ini, kemitraan dengan PTKI menjadi opsi sangat menarik.

 

Ketiga, pemanfaatan aset tanah wakaf untuk pembangunan infrastruktur sosial, seperti pendidikan, Kesehatan, dan rumah susun. Di sisi lain, wakaf uang akan menjadi opsi pembiayaan yang berkolaborasi dengan mitra kerja yang profesional.

 

Keempat, pengembangan proyek pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat. Terbentuknya BWI di tingkat Kabupaten/Kota sejatinya bertujuan mendorong pertumbuhan tata kelola wakaf yang lebih mikro. Tugas ini perlu dibangun kembali dengan menempatkan BWI sebagai leading sector yang menggawangi pemberdayaan wakaf untuk kegiatan ekonomi. Melalui BWI, wakaf uang dapat dialokasikan untuk proyek-proyek pemberdayaan ekonomi masyarakat, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro, atau inisiatif pertanian berkelanjutan.

 

Kelima, investasi dalam program renovasi dan pemeliharaan infrastruktur ekonomi, seperti pasar, pusat perdagangan, dan fasilitas produksi. Investasi dalam perbaikan dan pemeliharaan fasilitas ini tentu akan mendorong kepercayaan publik terhadap wakaf. Di saat bersamaan, project ini akan meningkatkan efisiensi dan daya tarik, serta memberikan manfaat langsung kepada pelaku usaha dan konsumen.

 

Tugas khusus negara kepada wakaf tentu harus terintegrasi dalam RPJPN 2025-2045. Penugasan khusus ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Di sinilah tantangan kita, yakni menghadirkan regulasi yang baik dan pengawasan yang ketat, agar dana wakaf digunakan dengan tepat sasaran dan memberikan dampak positif yang luas bagi pembangunan nasional.

 

Tantangan ini ada di tangan kita. Tahun depan kita akan memulai RPJPN 2025-2045, inilah kesempatan emas menempatkan wakaf sebagai sumber fiskal negara yang inklusif. Lagi-lagi, harapan ini perlu kita turunkan dalam kebijakan negara secara holistik.

 

Agar potensi wakaf dapat lebih dioptimalkan untuk pembangunan nasional berkelanjutan, pemerintah harus memastikan pengelolaan profesional dan transparan. Di sinilah kerja sama antara Pemerintah dan masyarakat perlu diturunkan dalam sistem kerja sama yang terintegrasi dan terukur. wallahu a’lam bishowab.***

Post a Comment

Comments 0