Troktok, Warisan Budaya Tak Benda dari Betawi yang Penuh Makna

Peri Irawan
Jul 01, 2023

KOSADATA - Betawi kaya akan ragam budaya, termasuk seni bela dirinya. Banyaknya seni bela diri asing, membuat salah satu silat Betawi atau “maen pukulan” Troktok menjadi terpinggirkan. 

 

Namun praktisi silat Troktok, Chairuddin optimis tradisi “maen pukulan” Betawi ini tak akan hilang karena masih ada segelintir putera daerah seperti dirinya yang akan menjaga budaya ini. 

 

Terlebih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Troktok sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2019 sehingga menjadi perhatian pemerintah untuk dilestarikan.

 

Selain itu, kata dia, pesilat Troktok konsisten mempelajari ilmunya hingga saat ini. Alasannya, selain menjaga jangan sampai aliran ini punah tapi juga memegang kepercayaan para orang tua Betawi dulu yang mewajibkan anak-anak mereka “maen pukulan” setelah solat dan mengaji.

 

Diketahui, Troktok dikembangkan sejak tahun 1920an oleh H. Marzuki di wilayah Rawa Kidang, Cengkareng yang kemudian diajarkan secara turun temurun.

 

“Saya belajar Troktok dari almarhum Bang Lukman Syukri di Ulujami. Yang kami pelajari berasal dari Guru Tua KH. Marzuki bin Holil. Saya ajarkan Troktok kepada anak-anak muda termasuk anak-anak saya,” ujar pria yang disapa Bang Heru di kediamannya, kawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

 

Guru Tua KH Marzuki bin Holil yang disebut Heru merupakan seorang tokoh masyarakat di Kampung Rawa Kidang yang juga terkenal memiliki teknik beladiri mumpuni. 

 

Dia menjelaskan, layaknya silat tradisi lain, Troktok tak hanya bercerita tentang jurus dan gerakan tapi juga mengungkap keajaiban yang terkandung di dalamnya. Silat Troktok, lanjut Heru, punya ciri khas yakni ada 4 jurus dan 8 langkah (rangkaian jurus) sebagai bentuk pertahanan yang memiliki makna di masing-masing


1 2 3

Related Post

Post a Comment

Comments 0