Bandung Buhun, Sisa Rawa Danau Purba yang Dijuluki Kuburan Bayi

Joeang Elkamali
Jul 26, 2023

KOSADATA-Siapa tak tahu Bandung saat ini? Segala pergerakan dan pernak-pernik yang ada di dalamnya kerap menjadi kiblat dalam banyak hal, mulai politik, musik, pakaian, hingga makanan. Di benak banyak orang, Bandung telah menjadi simbol kemajuan yang kerap menjadi rujukan.

 

Namun, pernahkah berpikir bagaimana wajah Bandung pada ratusan tahun silam? Bandung buhun memiliki riwayat tersendiri.

 

Dalam jurnal Patanjala edisi Juni 2010, Nandang Rusnandar dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, memaparkan kondisi Bandung dari yang semula berupa desa udik nan sepi menjadi kota yang maju seperti sekarang.

 

Ada banyak informasi waktu yang dituangkan Nandang dalam tulisannya itu. Satu di antaranya tentang catatan harian Yulian de Silva, orang Portugis, dengan titimangsa tahun 1641. Ia menulis tentang sebuah negeri bernama Bandong yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah. Jika satu rumah diisi empat orang, dari 30 rumah itu ada 120 jiwa.

 

Ada pula catatan tahun 1741 perihal Kompeni Belanda yang menempatkan komandan militer bernama Arie Top. Setahun kemudian, pada 1742, penduduk di wilayah Bandung bertambah tiga orang.

 

Mereka adalah dua warga Eropa dan satu orang buangan dari Batavia berpangkat kopral. Ketiga orang itu lantas turut membangun Bandung dengan jalan membuka hutan dan membuat perusahaan di bidang kayu.

 

Pada pertengahan abad ke-18, Bandung masih berupa hutan rimba. Ada banyak kolam besar dan rawa-rawa sisa dari danau purba. Lantaran banyak rawa, daerah tersebut menjadi sumber penyakit, sehingga jumlah kematian balita terbilang tinggi.

 

Tak heran, di kala itu wilayah tersebut diberi julukan kinderkerkhof atau kuburan anak bayi, karena di setiap halaman rumah ada kuburan anak balita. Kondisi itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk dijadikan tempat pembuangan pegawai pemerintahan yang membuat kesalahan.

 

Kala itu Bandung dianggap sebagai “neraka” dengan hutan rimba yang menyeramkan. Untuk mencapai daerah tersebut harus naik perahu atau rakit, melewati Sungai Citarum. Jalan setapak baru dibangun pada tahun 1786, sebagai jalur yang menghubungkan kota-kota Batavia – Bogor – Cianjur - Bandung.

 

Jalan setapak yang bisa dilalui kuda itu berperan penting dalam mengangkut hasil perkebunan kopi dari Priangan ke Batavia. Lalu, pada saat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah pada 1808 sampai 1811, Herman Willem Daendels membangun infrastruktur jalan di Pulau Jawa sepanjang seribu kilometer, dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa.

 

Lantaran ada pembangunan Jalan Raya Pos itu, Daendels menerbitkan surat keputusan tertanggal 25 September 1810 yang memerintahkan bupati Bandung untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung yang semula di Karapyak atau Dayeuhkolot ke Cikapundung. Tanggal itulah yang dijadikan pijakan Hari Jadi Kota Bandung.

 

Saat meresmikan jembatan Cikapundung yang kini membelah Jalan Asia Afrika, Daendels yang didampingi bupati Bandung berjalan dari barat ke arah timur, hingga berhenti di satu titik lalu menancapkan tongkatnya sambil berkata bila saya datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota.

 

Kini, tempat ia menancapkan tongkatnya itu dikenal dengan nol kilometer Bandung yang tugunya berada di depan kantor Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat.

 

Pada 1819, Adries de Wilde, orang Belanda yang ikut membangun Bandung, mengusulkan kepada pemerintah Kompeni Belanda untuk memindahkan ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung.

 

Usulan itu baru disambut pada masa Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud, 1856, dan pemindahannya dilakukan pada 1864, bertepatan dengan meletusnya Gunung Gede yang berada di perbatasan Kota Cianjur dengan Bogor.

 

Seiring berpindahnya Karesidenan Priangan, wajah Bandung semakin berubah. Pemerintah kolonial mendirikan bangunan-bangunan yang indah, menata kota, hingga membuat banyak taman. Bandung kemudian diberi julukan Bunga Kota Pegunungan di Hindia hingga dikenal sebagai kota kembang.

 

Dalam satu acara yang digelar di Swiss pada 1928, salah seorang arsitek bernama Hendrik Berlage mengkritisi pembangunan Bandung yang lebih terpaut ke Kota Paris, sehingga tidak menonjolkan ciri khas tropisnya dan tidak mencerminkan kepribadian yang mandiri.

 

Ia lantas memberikan julukan Bandoeng Parijs van Java yang berarti Paris di Jawa sebagai bentuk sindiran. Namun, sindiran malah menjadi julukan yang terkenal ke seluruh dunia, dan hingga kini masih sering digunakan.

 

Julukan Kota Bandung sebagai Parijs van Java, sejalan dengan maraknya aktivitas perkebunan di sekitar Kota Bandung. Pada awal abad ke-20 didirikan pula bangunan-bangunan untuk kepentingan orang perkebunan, seperti hotel, kantor, pertokoan, tempat hiburan, termasuk sekolah.

 

Salah satu sekolah yang didirikan adalah de Techniche Hoogeschool te Bandung, perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1920. Salah satu alumnus dari sekolah yang kini bernama Institut Teknologi Bandung itu adalah Ir. Soekarno.

 

Bandung, yang semula hanya satu, kini telah mekar dan tumbuh di banyak tempat. Selain Kabupaten Bandung yang merupakan daerah induk, kini ada Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi yang masing-masing memiliki ciri khas dan dinamika berbeda. 

 

Bandung yang semula

Bandung saat ini tentu saja jauh berbeda dengan waktu dulu. Asalnya satu wilayah, kini telah menjadi lima daerah administratif berbeda, yakni Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan sebagian daerah Kabupaten Sumedang.

 

Peristiwa pemindahan ibu kota itu secara yuridis formal diresmikan melalui besluit (surat keputusan) gubernur jenderal tanggal 25 September 1810.

 

Bandung merupakan sebuah wilayah geografis yang semula berstatus sebagai tempat pemukiman, selanjutnya berkembang menjadi sebuah “kota”, kemudian berstatus sebagai ibu kota Kabupaten Bandung (1810), ibu kota Keresidenan Priangan (1864), dan menjadi sebuah gemeente (1906).

 

Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal JB van Heutsz pada 1 April 1906. Luas wilayahnya saat itu sekitar 900 hektare. Kota Bandung lalu bertambah luas menjadi 8.000 hektare di 1949, sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini, yaitu 167,3 kilometer persegi atau sekitar 167 Ribu hektare.

 

Sebagai ibu kotanya Jawa Barat, Bandung 

Keadaan wilayah seperti ini, oleh Belanda dijadikan tempat pembuangan bagi soldadu atau pegawai pemerintahan yang membuat kesalahan, karena Bandung dianggap “neraka‟ dengan hutan rimba yang menyeramkan.

 

Istilah dalam Bahasa Sunda untuk menggambarkan keadaan rimba belantara Bandung itu dengan sebutan top maung top badak (siap dimakan harimau dan badak). Transportasi untuk mencapai daerah pedalaman Priangan atau Bandung hanya melalui Sungai Citarum, dengan menaiki perahu atau rakit bisa mencapai daerah neraka‟ ini.***

Post a Comment

Comments 0