Kawasan Gambir menyimpan destinasi wisata sejarah di Jakarta. Foto: kosadata
KOSADATA - Kawasan Gambir atau Weltevreden menjadi jantung Jakarta yang terus berdetak kencang. Di sinilah, kendali pemerintahan Indonesia dijalankan. Tapi, di balik kesibukannya, Gambir menyimpan sisa kejayaan Batavia sebagai kota kolonial modern di abad 20. Jejak itu kini masih tersimpan dan bisa menjadi destinasi wisata alternatif di Jakarta.
Menyusuri Weltevreden pada masa lampau, adalah menyusuri sejarah yang jejaknya bisa dilihat dari bangunan-bangunan tua yang ada di kawasan tersebut. Beberapa di antaranya kini dijadikan sebagai cagar budaya. Sebut saja misalnya, Willemkerk atau Gereja Immanuel, Gereja Katedral, Indische Woonhuis (Galeri Nasional) dan Volksraad (Gedung Pancasila).
Sejak 1970an, tempat-tempat tersebut menjadi destinasi bersejarah favorit para turis saat berkunjung ke Jakarta. Salah satunya pelancong dari Belanda. Bahkan hingga saat ini, banyak penyelenggara paket wisata city tour di Jakarta menjadikan kawasan Weltrevreden dalam daftar kunjungan mereka.
Pagi di Lapangan Banteng
Perjalanan menyelusuri jejak sejarah kota kolonial modern ini bisa dimulai dari Lapangan Banteng. Letaknya cukup strategis. Bisa dijangkau dengan moda transportasi, seperti Transjakarta.
Dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat, Lapangan Banteng disebut dengan Lapangan Singa pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Disebut demikian karena adanya patung berbentuk singa di tengah lapangan saat itu.
Patung singa ini sebenarnya merupakan tugu peringatan kemenangan perang di Waterloo yang membuat Napoleon Bonaparte kalah, sehingga Belanda bebas dari pendudukan Prancis pada 1815.
Karena itulah, selain Lapangan Singa, nama lain Lapangan Banteng tempo dulu adalah Lapangan Waterlooplein. Biasanya militer Belanda menggunakan lapangan ini untuk parade menunjukkan atraksi kebolehan mereka.
Kini Lapangan Singa atau Waterpooplein ini sudah menjadi taman kota yang asri. Beragam fasilitas tersedia disana. Setiap akhir pekan banyak warga Jakarta yang berolahraga pagi. Berbagai aktifitas lain juga bisa dilakukan di lapangan ini. Mulai dari bermain di taman anak, berswa foto, bercengkrama di amphitheater sembari menikmati air mancur hingga mencari semangat nasionalisme dari kutipan para pahlawan yang dipahat di salah satu dinding di lapangan ini.
Gereja Immanuel
Dari taman Lapangan Banteng, tujuan berikutnya adalah Gereja Immanuel. Dari Lapangan Banteng Anda bisa berjalan kaki menyusuri Jalan Taman Pejambon ke arah Stasiun Kereta Api Gambir. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 500 meter.
Gereja Immanuel berada di seberang Stasiun Gambir, di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Bangunannya sangat megah. Pepohonan yang menjulang tinggi, suasana tenang dan pilar-pilar megah bergaya Eropa klasik menyambut siapa pun yang mengunjungi Gereja Immanuel ini. JH Horst, arsitek gereja ini merancangnya dengan gaya dan corak klasisisme. Lengkap dengan jendela besar khas bangunan Belanda.
Karena masih dalam masa pandemi COVID-19, kegiatan di gereja yang menyimpan Kitab Suci (Staatenbijbel), cetakan tahun 1748 oleh N Goetzee Belanda ini masih dibatasi. Baik untuk ibadah maupun kunjungan lainnya. Anda harus terlebih dulu meminta izin kepada petugas dan harus benar-benar menjalankan protokol kesehatan seperti memakai masker dan mencuci tangan.
Dahulu, Gereja Immanuel bernama Willemskerk. Nama ini diberikan untuk menghormati Raja Willem I, Raja Belanda pada periode 1813-1840. Semula, Gereja Immanuel hanya untuk para petinggi Hindia Belanda.
Saat masuk ke gereja ini, pengunjung seakan dibawa kembali ke era khas klasik mewah tempo dulu. Di bagian lantai dua terdapat kursi kayu yang melingkar dan sebuah organ pipa tua buatan Jonathan Batz pada tahun 1843 yang masih digunakan untuk mengiringi lagu pujian saat kebaktian.
Karena nilai sejarah Gereja Immanuel yang tinggi, maka gereja ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya lewat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tanggal 29 Maret 1993.
Galeri Nasional
Keluar dari Gereja Immanuel, Anda akan kembali menemukan jejak kota modern Batavia tempo dulu. Disana ada gedung tua bekas asrama putri Belanda. Kini bangunan ini di fungsikan sebagai Galeri Nasional ( Galnas).
Selain menawarkan bangunan tua dengan arsitektur yang megah, Galnas menjadi lokasi favorit untuk berburu foto para instagrammers. Tempat ini tidak hanya dikunjungi para penikmat seni, tapi juga dari kalangan generasi muda. Disana mereka berfoto dengan nuansa klasik.
Gedung Galnas merupakan bangunan tua berusia ratusan tahun. Gedung berarsitektur kolonial Belanda ini dibangun pada 1817, dengan memanfaatkan material bekas Kasteel Batavia. Gedung ini dipergunakan untuk asrama khusus bagi wanita, sebagai usaha pendidikan yang pertama di Hindia Belanda.
Saat ini, Galeri Nasional menyajikan pameran karya seni anak bangsa. Ada dua jenis pameran di museum ini, yaitu pameran tetap dan kontemporer. Untuk pameran tetap karya seni akan ditampilkan seterusnya di Galnas, sedangkan pameran temporer, temanya akan berganti-ganti.
Dari Galeri Nasional, perjalanan selanjutnya kembali ke arah Taman Lapangan Banteng. Tapi bukan Lapangan Banteng yang dituju, melainkan Gereja Katedral Jakarta. Lokasinya berada bersebrangan dengan Taman Lapangan Banteng.
Gereja ini memiliki nama resmi Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming. Sebelum berdiri megah yang tempatnya sekarang, awal Gereja Katedral berada di pojok barat daya Buffelvelt (sekarang menjadi gedung Departemen Agama).
Menurut petugas keamanan gereja yang ditemui Media Jaya, sebenarnya ada tiga area yang bisa dikunjungi ke gereja bergaya arsitektur Neo-gotik ini. Yakni area bangunan utama yang memiliki tiga menara yang indah yakni, Menara Angelus Dei, Menara Benteng Daud dan Menara Gading.
Selain bangunan utama, dua lokasi lain yang bisa dikunjungi oleh waisatawan adalah Museum Katedral, dan Goa Maria Katedral. Museum Katedral berada di samping kiri gereja dan dekat dengan Gua Maria.
Sementara itu, Museum Katedral menyimpan benda-benda bersejarah yang menceritakan perjalanan gereja. Museum dan gereja terbuka oleh masyarakat umum, walaupun bukan pemeluk agama Katolik. Sejak 1993, bangunan Gereja Katedral ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
Es Krim Legendaris
Setelah dari Gereja Katedral, perjalanan Anda di kawasan Gambir bisa diakhiri dengan bersantai menikmati es krim legenaris, Ragusa. Es krim racikan dua orang berkebangsaan Italia, Luigi Ragusa dan Vicenzo Ragusa ini sudah ada sejak tahun 1932.
Awalnya mereka berjualan di Pasar Gambir yang menjadi cikal bakal Jakarta Fair. Tapi, sejak 1947 mereka membuka kafe di Citadelweg (sekarang Jalan Veteran I no. 10) dan masih berdiri hingga saat ini.
Nuansa sejarah begitu terasa saat berada di dalam cafe tua ini. Baik dari interior maupun dari foto-foto yang dipajang di cafe tersebut menunjukan bagaimana es krim ini begitu favorit di jaman penjajahan dulu.
Selain menikmati nuansa tempo dulu, resep es krim juga masih dipertahankan hingga saat ini. Pilihannya beragam. Salah stau yang legendaris adalah spaghetti ice cream . Es krimnya berwarna putih dan disajikan dengan bentuk yang menyerupai spaghetti. Taburan sukade dan kacang di atasnya menambah cita rasa dari es krim legendaris ini dan menjadi penutup yang manis untuk sesi jalan-jalan sejarah kali ini. ***
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Relawan Ganjar Pranowo Berikan Dukungan ke PDIP di Pilpres 2024
POLITIK Mar 09, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0