|

Semula ada Pertentangan, Sejak 1926 Muhammadiyah Mulai Salat Id di Lapangan

Peri Irawan
Apr 09, 2023
0
1 minute

KOSADATA - Penyelenggaraan salat Sunah Id di lapangan atau tanah lapang ternyata sudah dimulai sejak 1926. Adalah perkumpulan Muhammadiyah yang pertama kali memperkenalkan salat di tanah lapang. Pada mulanya, gagasan seperti ini tidak lazim dilakukan.

Kendati awalnya ada pertentangan, kini salat di tanah lapang telah diterima sebagai sesuatu yang lumrah.

Almanak Muhammadiyah 1394 (1974), mencatat bahwa Salat Id di tanah lapang memang dimulai Muhammadiyah pada tahun 1926. Utamanya, dengan merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.

Dalam buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), Haedar Nashir mencatat pelaksanaan Salat Id di lapangan untuk ‘pertama kali’ dilakukan Muhammadiyah pada 1926 dengan berlokasi di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

Haedar menulis Kiai Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923 itu telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti Sunnah Nabi Saw dengan Salat Id di lapangan terbuka.
 
Pada masa itu umat muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab fikih Syafi’i memang melaksanakan Salat Id di masjid atau dengan kata lain dipimpin oleh imam di dalam masjid karena menganggap keberadaan masjid lebih utama.

St. Nurhayat, dkk dalam Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019) menjelaskan bahwa asal mula keputusan penggunaan tanah lapang sebagai lokasi Salat Id bermula dari kritikan seorang tamu dari negeri India pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim antara tahun 1923-1933.

Tamu dari negeri India itu memprotes mengapa Muhammadiyah melaksanakan Salat Idulfitri bertempat di dalam Masjid Keraton Yogyakarta. Menurut tamu itu, Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid (pencerahan) seharusnya melaksanakan Salat Idulfitri dan Iduladha di tanah lapang sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Penggunaan Masjid Keraton sebagai tempat Salat Id Muhammadiyah memang tidak terlepas dari bentuk penghormatan Muhammadiyah kepada Sultan Hamengkubuwono VII yang telah mengamini izin dari Kiai Ahmad Dahlan agar Muhammadiyah diperbolehkan berbeda tanggal perayaan hari besar Islam dengan Keraton.

Pasalnya, Muhammadiyah memakai sistem hisab dan Kalender Hijriyah, berbeda dengan Keraton yang memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge sehingga terdapat perbedaan tanggal hari besar Islam.

Keputusan mempopulerkan Salat Id di lapangan melalui keputusan Muktamar juga disebutkan oleh St. Nurhayat di atas karena pada masa Kiai Ibrahim itu, fokus Muhammadiyah mulai bergeser pada persoalan Takhrij Hadis dan persoalan ubudiyah, terutama pada tahun 1927.

Dari titik inilah kemudian juga terjadi penghimpunan para ulama Muhammadiyah untuk membicarakan berbagai persoalan peribadatan yang kemudian diberi nama sebagai Majelis Tarjih, yang eksistensinya di Muhammadiyah baru nampak pada masa kepemimpinan Kiai Mas Mansur pada tahun 1936-1942.

Atas keputusan Muktamar tahun 1926 itu pun, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia ditengaarai mulai rutin menggelar ibadah Salat Id di tanah lapang pada tahun-tahun berikutnya.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0

Trending Post

RAGAM