Foto: Sasint/pixabay
Oleh: Hanief Adrian
Peneliti Independent Society dan mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI
Menjelang peringatan disahkannya Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA), masyarakat diperlihatkan suatu parade kezaliman luar biasa yang ditunjukkan Rezim Pemerintahan Jokowi kepada rakyat. Pertama adalah konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau di mana rakyat diminta mengosongkan pulau tersebut pada 28 September 2023, karena Badan Pengusahaan Batam yang berwenang atas Pulau Rempang memberikan konsesi hutan negara seluas 17.000 hektar kepada PT. Mega Estetika Graha. Konsesi tersebut terkait dengan dijadikannya Pulau Rempang sebagai Program Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
Masyarakat Rempang tentu saja menolak keras relokasi paksa tersebut, terutama mereka yang tinggal di 16 kampung tua yang sudah turun-temurun tinggal di sana sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Aksi penolakan warga dihadapi aparat kepolisian dengan tembakan gas air mata dan pentungan, hingga beberapa sekolah dasar dihentikan kegiatan belajar mengajarnya karena siswa yang sedang berkegiatan terkena gas air mata.
Konflik kedua adalah penetapan Nagari Air Bangis di Sumatera Barat sebagai PSN untuk pembangunan kilang minyak dan industri petrokimia. PSN usulan Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi tersebut akan digarap PT Abaco Pasifik Indonesia seluas 30.162 hektar, tepat berada di hutan adat yang sudah lama dikelola masyarakat adat Air Bangis yang sudah hidup di sana sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat Air Bangis menolak kebijakan tersebut, sampai dihadapi aparat kepolisian dengan represif hingga masuk ke masjid warga menggunakan senjata dan bersepatu lars.
Konflik agraria Rempang dan Air Bangis sebenarnya hanya perulangan dari konflik agraria sebelumnya seperti di Wadas, pegunungan Kendeng, Merauke, Sulawesi dan Kalimantan yang semakin banyak dan luas sebagai dampak pembangunan infrastruktur era Rezim Jokowi. Pemerintah sebagai penguasa hak atas hutan negara memberikan konsesi kepada perusahaan baik BUMN atau swasta, kemudian memaksa warga yang tidak punya sertifikat kepemilikan lahan untuk direlokasi dengan ganti uang kerahiman. Konflik tanah rakyat era Orde Baru seperti Badega, Cimacan dan Kedungombo juga memiliki modus operandi yang tidak jauh berbeda, kecuali Orde Baru merupakan rezim pemerintahan otoriter yang didukung Tentara.
Era Reformasi yang berlandaskan pada agenda demokratisasi, justru tidak memperbaiki manajemen agraria yang tetap sentralistis. Pemerintahan era reformasi tetap menggunakan strategi pro pertumbuhan ekonomi sebagaimana Pemerintahan Orde Baru, di mana lahan adalah faktor produksi yang dikuasai negara dan dapat dijadikan konsesi kepada atau investor yang memiliki modal untuk mengusahakannya agar menguntungkan. Keuntungan tentu saja akan lebih banyak dinikmati sang investor alih-alih dinikmati negara dalam bentuk pajak yang dapat dibelanjakan untuk membangun fasilitas publik untuk rakyat.
Faksi Politik Umat dan Konflik Agraria
Menghadapi dua konflik terakhir, fenomena politik yang menarik adalah tercetusnya sikap solidaritas umat atas warga Rempang dan Air Bangis yang terdampak program pengadaan lahan negara. Diawali oleh kasus Rempang, Ustadz Abdul Somad (UAS) dan beberapa tokoh Melayu dengan lantang menolak relokasi warga Rempang yang merupakan etnis Melayu dari suku Orang Laut, dan menurut beberapa sejarawan merupakan keturunan prajurit Kesultanan Riau Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat, tak jauh dari kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.
Seruan UAS memicu solidaritas Bangsa Melayu ditandai dengan aksi massa lanjutan seperti pendudukan kantor BP Batam pada 11 September 2023 dan aksi lanjutan di kota Medan pada 15 September 2023. Gerakan berlanjut di Jakarta pada 20 September 2023 dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) atau yang lazim disebut Persaudaran Alumni 212 yang dipimpin Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziieq Shihab (HRS). Tidak hanya UAS dan HRS, Panglima Pajaji dari suku Dayak Kalimantan Tengah juga ikut menyuarakan penolakan terhadap relokasi masyarakat Kampung Tua Rempang.
Para tokoh Jawa Barat seperti K.H. Athian Ali, K.H. Asep Syarifudin, M. Rizal Fadillah, Letjen Yayat Sudrajat dan lain-lain juga menunjukkan solidaritas Bangsa Sunda mendukung Bangsa Melayu dalam aksi massa Selasa 26 September 2023 di Bandung. Kita tentu mengingat peranan penting tokoh-tokoh tersebut dalam Aksi Bela Islam 212, yang pada hari ini menamakan gerakan mereka sebagai Bangsa Sunda.
Faksi Politik Umat, demikian nama yang saya berikan kepada mereka, nampak mengubah identitas gerakan dari massa aksi umat Islam menjadi massa aksi bangsa-bangsa pembentuk identitas nasional Indonesia seperti Sunda dan Melayu. Ini merupakan hal menarik, karena dalam wacana Islam dan Negara pada masa sebelumnya, Faksi Politik Umat selalu menyatakan dirinya berperan besar dalam menyelamatkan Republik Indonesia dari perpecahan politik hasil rekayasa Kolonial Belanda dalam bentuk Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adalah Mohammad Natsir, Ketua Dewan Politik Partai Islam Masyumi yang mengajukan mosi integral pada 3 April 1950 untuk menyelesaikan konflik-konflik antara kelompok federalis melawan kelompok unitaris yang terjadi di negara-negara bagian RIS seperti Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Negara Indonesia Timur. Natsir sendiri memang pendukung negara kesatuan atau kelompok Unitaris, hingga ia mengundurkan diri dari Kabinet Hatta karena tidak menyetujui hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang selain memisahkan Irian Barat dari RIS, juga karena Natsir tidak setuju federalisme. Perdana Menteri Mohammad Hatta yang mewakili RI dalam KMB, memang dikenal kuat sebagai pendukung federalisme dalam sidang BPUPKI, maupun dalam kesepakatan Linggajati dan Renville semasa Revolusi Kemerdekaan.
Mosi integral Natsir ini disetujui anggota DPR yang berisi tidak hanya perwakilan dari RI, namun juga perwakilan negara bagian dan satuan kenegaraan RIS, termasuk Senat. Pada 17 Agustus 1950, UUD RIS secara resmi dinyatakan tidak berlaku dan UUD Sementara 1950 dinyatakan sebagai Konstitusi NKRI, walaupun esensi demokrasi, hak asasi manusia, sistem parlementer dan lain-lain dalam RIS menjadi jiwa daripada UUDS 1950.
Jasa Natsir dalam penyelesaian konflik dari RIS menjadi RI tersebut adalah klaim historis faksi politik Umat sebagai pendukung NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rezim-rezim selanjutnya dari Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi. Tetapi dalam kasus agraria yang sedemikian besar gaungnya, faksi politik Umat justru menggunakan basis identitas etnis seperti Bangsa Melayu dan Bangsa Sunda.
Apakah ini pertanda identitas kebangsaan Indonesia sedang mengalami evolusi dari identitas tunggal hasil agregasi perjuangan suku-suku melawan kolonialisme Belanda yang disatukan melalui pergerakan nasional dan pendudukan militer Jepang, menjadi identitas majemuk bahwa warga negara Republik Indonesia terdiri dari puluhan bangsa? Apakah ini semacam fenomena Balkanisasi sebagaimana yang ditakutkan orang-orang dahulu pada awal Reformasi 1998 yang diwarnai konflik berdarah antar suku dan agama di beberapa daerah, atau fenomena demokratisasi dari bawah sebagai lawan daripada pengelolaan negara yang sentralistis pada masa Orde Lama dan Orde Baru?
Faksi Politik Umat dan Kedaulatan Agraria
Saat tulisan ini dibuat pada 24 September 2023 atau tepat pada hari disahkannnya UU Pokok Agraria, penulis mengingat agraria sebagai isu yang dimanfaatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui organisasi sayapnya seperti Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk melaksanakan aksi-aksi sepihak penyerobotan lahan milik perkebunan negara maupun orang-orang yang mereka cap setan desa dan setan kota. Aksi-aksi sepihak PKI ini tidak jarang menimbulkan korban, sehingga peristiwa pembantaian massal orang-orang PKI dan BTI kemudian setelah kegagalan aksi kup militer Gerakan 30 September adalah bagian dari balas dendam masyarakat yang jengah dengan perilaku politik PKI.
Namun situasi hari ini seharusnya membuat kita takjub, bahwa masyarakat akhirnya mulai memiliki kesadaran kelas tertindas, walaupun kesadaran kelas tersebut mengarah kepada garis massa identitas kesukuan seperti sebutan Bangsa Melayu, Bangsa Sunda. Kesadaran kelas tersebut belum menjadi kesadaran massa kolektif yang alat produksinya hendak direbut negara atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kesadaran massa kolektif tentu harus mengarah pada isu-isu progresif revolusioner seperti bagaimana mewujudkan pembangunan berkeadilan melalui kedaulatan agraria. Dasar daripada kedaulatan agraria ini adalah fakta historis bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya agregasi politik dari rakyat kerajaan dan kesatuan adat seperti Aceh, Melayu, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa Mataraman, Bali, Bima, Dompu, Kupang, Flores, Dayak, Bugis, Minahasa, Ambon dan Papua serta kesatuan-kesatuan adat lain yang tidak dapat kita tuliskan semuanya.
Ketika kerajaan dan kesatuan adat itu kemudian diintegrasikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka identitas politiknya pun terinkorporasi menjadi birokrasi negara. Sementara identitas budaya seperti tanah ulayat dipertahankan, bahkan diakui dalam UU Pokok Agraria sebagai alat produksi kolektif milik rakyat. Hanya saja, UUPA 1960 tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan konsekuen sejak UU Pokok Kehutanan tahun 1967 diberlakukan Rezim Orde Baru dengan prinsip seluruh hutan milik negara, mirip dengan asas domainsverklaring (Tanah Milik Raja) yang terkandung dalam UU Agraria 1870 buatan Kolonial Belanda.
Maka adalah suatu kondisi yang tidak dapat diabaikan atau conditio sine qua non, bahwa prinsip Hutan Negara yang menjadi dasar relokasi warga kampung tua Rempang, warga tanah adat Air Bangis, warga-warga lain yang melawan perebutan tanah mereka oleh investor yang berlindung di balik hukum negara, haruslah dihapus. Tentunya dengan cara-cara yang demokratis yang jelas lebih elegan dan menunjukkan tingkat keberadaban dan kesantuan kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Solidaritas bangsa Melayu, bangsa Sunda, bahkan bangsa Papua yang sedang memperjuangkan hak-haknya agar berdaulat di atas tanah airnya perlu ditegakkan di atas asas demokrasi. Salah satu alternatif bentuk perjuangan tersebut bisa jadi adalah partai-partai lokal atas nama identitas Sunda, Melayu, Dayak, Papua dan lain-lain sebagaimana Partai Aceh dalam sistem Pemerintahan Aceh pasca Kesepakatan Damai Helsinki 2005 antara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Maka di hari ulang tahun UU Pokok Agraria ini, Faksi Politik Umat perlu menajamkan kembali garis perjuangan massa dari berbasis identitas menjadi berbasis ide yang lebih maju yaitu mewujudkan Kedaulatan Agraria melalui demokrasi.
Selamat Hari Agraria!
Panjang Umur Demokrasi!
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Relawan Ganjar Pranowo Berikan Dukungan ke PDIP di Pilpres 2024
POLITIK Mar 09, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0