Foto: Ist
Oleh: Agustinus Tamtama Putra
Peneliti GMT Institute
Sebagian kutipan lirik lagu “Full Senyum Sayang” gubahan Evan Loss berikut cukup menarik untuk disimak:
Mbok yo sing full senyum sayang, ben aku semangat berjuang;
ojo nuruti gengsimu, jelas-jelas aku ndak mampu.
Mbok yo sing full senyum sayang, ben aku soyo tambah sayang;
Rasah pusing-pusing, gek ndang dandan, ayo kita healing.
KOSADATA - Mengapa “full senyum” menjadi amat perlu istimewanya menjelang pesta demokrasi Februari mendatang? Jawabannya ialah bukan pertama-tama merujuk pada semboyan pasangan calon tertentu—yang kalaupun hal ini menyeruak dalam benak Anda boleh dikatakan kesengajaan atau dimaksudkan demikian—namun lebih dari itu, karena pemilihan umum adalah ajang pesta demokrasi.
Bukan pada tempat dan saatnya untuk bersitegang, bersedih dan bertengkar di saat pesta, bagaikan berisak tangis ketika sedang menari. Demikian pula momen pesta demokrasi hendak disambut dengan senyum dan antusiasme sebab letak kegembiraannya ialah setiap orang bisa memilih secara bebas dan bertanggungjawab berdasarkan hati nuraninya pasangan calon terbaik bagi negeri Indonesia tercinta.
Justru karena bebas memilih dan menentukan pilihan inilah maka pesta rakyat dalam bentuk pemilihan umum dikenal dengan sebutan “pesta demokrasi”, sebab demokrasi—dalam artinya yang terdalam (in its deepest sense) adalah perihal kebebasan. Insan yang bebas di negeri yang bebas menghasilkan kedewasaan dan tanggungjawab yang dalam dinamika tiada henti membentuk NKRI.
“Full senyum” merupakan wujud dukungan moral dan spiritual, sosial dan bahkan mungkin finansial untuk siapapun yang diusung. Dukungan ini mutlak perlu agar mereka semangat berjuang. Dalam perjuangan penuh kegembiraan dan optimisme itu disadari pula dan perlu disiapkan mentalitas ksatria untuk pada gilirannya berlapang dada menerima kenyataan manakala harus tunduk dan kalah, di saat yang sama menerima dan mengapresiasi sang juara yang adalah pemenang karena berhasil berkontestasi secara fair berdasarkan aturan main yang sudah disepakati bersama.
Pesta demokrasi dengan pola yang penuh dengan permainan nampaknya tidak bisa disangkal kendati kerap dihimbau dan diwanti-wanti oleh sebagian orang lewat ungkapan, “jangan banyak bermain (uang misalnya)!” Secara teoretis-etis hal itu tentu harus ditegakkan, namun secara praksis-riil tidak selalu demikian dan tidak salah juga untuk mengakui bahwa memang permainan itu adalah roh dari demokrasi.
Demokrasi tidak lain adalah permainan memenangkan hati rakyat dan mengatur kehidupan bersama dengan intrik-intrik yang bisa dibenarkan (atau setidaknya dipandang benar) termasuk di dalamnya pemilu sebagai bagian dari permainan demokrasi tersebut.
Justru kalau demokrasi dipandang sebagai realitas yang kaku, imperatif-kategoris, berpola pasti ibarat labirin, harus begini harus begitu, normatif, kaku, tidak fleksibel dan dipaksakan; pada saat itulah demokrasi sudah berganti wajah menjadi tirani, arogansi elitis dan hegemoni kelompok tertentu yang pastinya diuntungkan oleh sistem yang selama ini sudah terpola.
Akibat sudah terlanjur menikmati zona nyaman hegemoni kuasa, golongan (lugasnya mungkin partai tertentu) menjadi pihak yang menggunakan berbagai macam cara untuk terus menguasai dan memberi pengaruh. Permainan imbang dari pihak lawan politik menjadi bumbu penyedap dan roh demokrasi itu sendiri, maka yang namanya permainan akan selalu ada dan tidak dapat dihilangkan sekeras apapun kita menyangkalnya.
Ingar bingar pesta merupakan hal yang substansial dalam seluruh dinamika tersebut, bukan untuk dikutuk atau diratapi, bukan pula untuk dipandang melulu secara moralis (tanpa menegasi batasan-batasan etis yang sudah dengan sendirinya bisa dipupuk dan ditemukan dalam nalar kolektif bangsa karena orang-orang kita sudah dewasa di mana yang jelas tak seorang pun menghendaki katrastropi) melainkan dirayakan sedemikian asyik sehingga setiap orang memberikan yang terbaik, mengusung yang terbaik dan mengharapkan yang terbaik untuk kepentingan seluruh bangsa.Jika ada kekuatiran di berbagai pihak halnya akan selalu dikounter dengan pandangan bahwa mungkin itu adalah kesan yang berlebihan.
Tidak mengherankan Heru Budi Hartono misalnya mengajak dan menghimbau masyarakat Jakarta untuk “full senyum” menyambut pemilu. Bahwa perjuangan untuk membawa Indonesia ke arah lebih baik merupakan tugas mulia dari calon presiden dan wakil presiden yang nanti akan terpilih.
Demi mempersiapkan Indonesia emas 2045 dan menyongsong Jakarta sebagai “Global City” maka momen kontestasi pemilihan umum ini menjadi jembatan ke arah itu. Heru Budi Hartono adalah contoh dan teladan untuk tersenyum menghadapi pemilu mendatang sebagaimana dapat kita saksikan di baliho-baliho di seantero Jakarta.
Sukses Jakarta Untuk Indonesia!
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Berjiwa Besar, AHY Ucapkan Selamat untuk Anies-Cak Imin
POLITIK Sep 04, 2023
Comments 0