Kebijakan KDM Bikin Heboh, Pengamat: Gubernur Itu Koordinator, Bukan Panglima!

Ida Farida
May 28, 2025

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Foto: ist

KOSADATA — Sejumlah kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi kembali menuai kritik. Pengamat Kebijakan Publik, Sugiyanto atau akrab disapa SGY, menilai langkah-langkah Dedi kerap melampaui batas kewenangan seorang gubernur dalam sistem pemerintahan daerah yang otonom.

 

Sejak awal menjabat, pria yang akrab dipanggil Kang Dedi Mulyadi (KDM) itu mencetuskan berbagai kebijakan yang memantik perdebatan. Mulai dari larangan study tour ke luar provinsi, penghapusan wisuda TK hingga SMA, hingga program pembinaan siswa bermasalah di barak militer.

 

“Gubernur itu bukan panglima, dia koordinator. Posisi gubernur itu jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Tugasnya membina dan mengawasi, bukan memerintah langsung atau memaksa kepala daerah,” ujar SGY dalam keterangannya, Rabu, 28 Mei 2025.

 

Salah satu kebijakan yang paling disorot adalah larangan study tour keluar provinsi. Kebijakan ini diterapkan secara tegas, bahkan seorang kepala sekolah di Depok dinonaktifkan lantaran dinilai melanggar. 

 

SGY menyebut, kebijakan semacam itu berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

 

“Urusan pendidikan menengah memang wewenang provinsi. Tapi eksekusi kebijakan tanpa konsultasi dan kesepakatan daerah bisa mengganggu harmonisasi pemerintahan,” ucapnya.

 

SGY juga menyoroti program pembinaan siswa bermasalah di barak militer. Menurutnya, kebijakan tersebut rawan bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 karena berpotensi melanggar hak anak dan diterapkan tanpa dasar hukum yang kuat.

 

Tak berhenti di situ, kebijakan pelarangan wisuda sekolah dan wacana vasektomi sebagai syarat bantuan sosial pun dipertanyakan. 

 

“Kebijakan publik seharusnya dibangun dari partisipasi, bukan sekadar top-down. Demokrasi lokal itu harus dihargai,” ujar SGY.

 

Kebijakan terbaru KDM yang menuai polemik adalah penerapan jam malam bagi pelajar di Jawa Barat mulai 1 Juni 2025. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/DISDIK tertanggal 23 Mei 2025. 

 

SGY menilai, surat edaran tanpa dasar hukum formal seperti Peraturan Gubernur tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

“Surat edaran itu sifatnya imbauan, bukan perintah. Kalau dipaksakan jadi aturan mengikat, bisa timbul masalah hukum,” katanya.

 

Dalam konteks hukum tata negara, SGY menegaskan, gubernur bukan atasan bupati dan wali kota. Posisi gubernur hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah yang menjalankan fungsi koordinasi dan pembinaan.

 

Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah kabupaten/kota, kecuali urusan yang menjadi kewenangan pusat. 

 

Artinya, kepala daerah berhak mengatur wilayahnya masing-masing tanpa harus tunduk pada instruksi gubernur, kecuali diatur peraturan yang sah.

 

“Kalau gubernur terlalu dominan dan tidak melibatkan pemerintah kabupaten/kota, itu bisa merusak sistem otonomi daerah dan menciptakan disharmoni pemerintahan,” ujar SGY.

 

Ia berharap, ke depan Gubernur Dedi Mulyadi lebih mengedepankan koordinasi, konsultasi, dan partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan daerah. 

 

“Gubernur itu mitra, bukan komandan. Tugasnya menyinergikan, bukan memerintah sepihak,” tutupnya.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0