Foto ilustrasi: Pixabay/geralt
Socrates tidak menentang demokrasi, tetapi ia percaya bahwa hak memilih harus didasarkan pada pengetahuan, bukan sekadar hak lahiriah. Namun, apa yang terjadi di negeri ini? Pemilu bukan ajang adu gagasan, melainkan festival pencitraan. Rakyat dipilih bukan karena kecerdasannya, tetapi karena kesediaannya untuk tertawa melihat tingkah politisi di TikTok. Dan ketika tiba saatnya memilih pemimpin, pertimbangan yang digunakan bukan visi-misi, melainkan seberapa banyak bansos yang diterima atau seberapa sering sang calon tersenyum di baliho.
Sejarah mencatat, Socrates akhirnya dihukum mati oleh rakyatnya sendiri. Kejahatannya? Mengajarkan orang-orang berpikir kritis. Demokrasi tanpa pendidikan, menurutnya, adalah pintu gerbang bagi kehancuran.
Mengapa Kebodohan Adalah Aset Kekuasaan?
Rakyat yang bodoh adalah jaminan umur panjang bagi kekuasaan. Di berbagai negara, kebijakan yang memperbodoh rakyat selalu menjadi senjata utama untuk mempertahankan dominasi.
Korea Utara: Pendidikan di negara ini bukan bertujuan mencerdaskan, tetapi menciptakan rakyat yang tunduk dan memuja pemimpin mereka seperti dewa. Sejarah dunia dipelintir, informasi disaring, dan akses ke dunia luar ditutup rapat. Hasilnya? Sebuah masyarakat yang tidak pernah tahu bahwa ada dunia yang lebih baik di luar sana.
Amerika Serikat: Di negeri yang katanya paling demokratis, ada pola yang sama. Pendidikan tinggi dibuat mahal, sehingga hanya segelintir orang yang bisa mengaksesnya. Sementara itu, rakyat kelas bawah dijejali dengan hiburan tanpa henti,
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Filosofi Iket Sunda yang Penuh Makna
SENI BUDAYA Mar 03, 2024Melepas Penat di Situ Ciranca Majalengka, Sejuknya Kemurnian Air Pegunungan
DESTINASI Apr 04, 2025Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0