Penambahan Armada Bukti Keseriusan Heru Budi Hartono

Ichsan Sundawani
Sep 24, 2023

Agustinus Tamtama Putera. Foto: Ist

Oleh: Agustinus Tamtama Putra

Peneliti Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta

KOSADATA - Jaman terus bergerak dan berkembang. Kecepatan pasar global memengaruhi ritme kehidupan utamanya di metropolit: semua serba cepat, praktis, kadang oportunis, ringkas, efektif dan efisien. Perputaran roda jaman memaksa manusia-manusia modern untuk juga berpacu dalam melodi orkestrasi globalisasi. Maka bisa disaksikan secara fenomenologis, bahwa masyarakat urban berbeda ritme dengan masyarakat suburban. Sebut saja gaya dan gerak masyarakat Jabodetabek akan jauh lebih cepat dibanding gaya hidup di perkampungan pedalaman Kalimantan Barat. Masyarakat urban seolah dipaksa untuk tidak menunda-nunda dan bersantai mengingat tuntutan kerja, target kehidupan dan menjaga agar dapur tetap mengepul dan “kompor tetap bernyala”. Hal ini jelas, sebab tidak mungkin lagi bergantung dari alam seperti masyarakat suburban. Semua serba membeli dan membayar; berdasarkan hukum ekonomi; perputaran uang, barang serta jasa. 

Guna menunjang mobilitas dan arus globalisasi yang begitu nyata di kota metropolit seperti Jakarta, pergerakan manusia menjadi vital. Maka tidak mengherankan bahwa hampir semua keluarga dan rumah di Jakarta memiliki kendaraan semisal sepeda motor dan mobil. Kendaraan memang sangat penting untuk menunjang pekerjaan. Segala urusan yang terkait dengan pekerjaan—yang artinya demi kelangsungan hidup itu sendiri—ditunjang dan disokong secara fundamental oleh kendaraan-kendaraan tersebut. Dengan demikian dapat pula dimengerti alasan mengapa terjadi lonjakan volume kendaraan di Jakarta, di samping menunjukkan kemampuan ekonomi orang-orang serta hobi mengoleksi kendaraan yang mungkin persentasenya tidak sebanyak yang memang membutuhkannya untuk mobilitas, alasan pekerjaan kiranya mendominasi dan lebih masuk akal.

Tinjauan Psikologis

“Manusia selalu menderita berhadapan dengan tuntutan peradaban”, demikian Sigmun Freud katakan. Baginya, satu-satunya jalan masyarakat mengalami kemajuan ialah dengan mengakui dorongan libidinal dan agresif. Ia percaya bahwa peradaban—keseluruhan struktur kebudayaan kita: hukum, agama dan masyarakat, muncul melalui represi yang dipelajari dorongan instingtif individu. Tetapi secara paradoksal, menurut Freud “setiap individu secara virtual adalah musuh peradaban meskipun peradaban merupakan objek kepentingan manusia.” Peradaban ini bisa kita baca dalam konteks metropolit Jakarta di mana masyarakatnya sebagai masyarakat urban tadi, dibuat dan didesain seolah-olah seperti robot yang juga harus gesit, dalam dan demi apa yang disebut peradaban. Suka atau tidak suka, demi tuntutan hidup, “selagi masih ada pekerjaan”, demi keluarga, kelangsungan hidup dan lain-lain, profesi apapun itu digeluti sejauh menghasilkan uang. Keinginan ditekan dan direpresi sedemikian rupa sehingga pribadi tunduk dan takluk di bawah logika-logika kapitalis maupun kekuasaan di mana ia tergabung dan terhubung. Hal ini lantas menciptakan manusia-manusia Jakarta yang harus cepat dan produktif, juga tertekan secara batininah karena dorongan libidinal dan represi agresif, di satu sisi sejahtera tapi di sisi lain mungkin terbelenggu—meskipun belenggu tersebut juga bisa dinilai baik—sehingga agak-agaknya tidak mengherankan bila misalnya pembawaan orang-orang di jalan begitu impulsif saat berkendara, menghidupkan klakson dan lekas marah jika bersenggolan, sebagai sublimasi represi sosial secara psikologis. 

Sadar Jakarta

Mobilitas manusia sebagai penanda jelas arus globalisasi disadari oleh semua orang. Tidak terkecuali pemangku kebijakan dan pemerintah DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Kelangsungan Jakarta ditentukan secara fundamental oleh ketersediaan dan efisiensi pelayanan transportasi publik. Sebagaimana di negara maju kendaraan umum merupakan patokan kemajuan, maka Jakarta pun pelan-pelan ke arah sana: kepada moda transportasi yang semakin terintegrasi, terhubung satu sama lain. Hal ini mutlak perlu mengingat ketertinggalan Jakarta di banding kota-kota global lain yang lebih maju di tingkat internasional. Sudah saatnya Jakarta bangkit sebagai poros ekonomi yang juga menyokong ekonomi masyarakat secara professional, dalam hal ini tersedianya transportasi publik yang nyaman dan semakin baik. Maka Heru Budi Hartono misalnya meminta BUMD DKI untuk mendambah armada TransJakarta guna menampung semakin banyak orang dan mencegah kemacetan. 

Total armada TransJakarta saat ini 4.700 unit, sanggup menampung 1,2 juta orang per hari. Tahun depan diharapkan menjadi 7000 unit sehingga akomodatif atas 1,7 juta penumpang per hari. MRT dari 173 ribu orang per hari menjadi 270 ribu per tahun depan pasca penyelesaian jalur MRT fase 2a. LRT juga akan diperbanyak, saat ini menampung 730 ribu penumpang per hari dan sangat membantu mobilitas dari Bekasi dan Cibubur ke Dukuh Atas dan sebaliknya. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan bahwa jumlah penumpang angkutan umum berbasis rel dan trayek setiap harinya mencapai total 2,7 juta orang dengan MRT, LRT, KRL, TransJakarta dan bus regular. Perkembangan juga semakin baik dengan diresmikannya kereta api cepat (KCIC) Jakarta-Bandung. Kecepatan memang merupakan aspek sangat penting dalam transportasi, istimewanya perihal waktu.

Upaya menyediakan sarana transportasi publik perlu sejalan dengan kesadaran masyarakat akan perlunya hidup lebih ekologis, lebih berhemat, lebih sehat dan lebih praktis. Langkah Heru Budi Hartono patut didukung dan diapresiasi terkait transportasi publik ini. Tantangan globalisasi yang semakin besar menuntut pula kreativitas demi kemajuan bersama. Jalannya pemerintahan secara baik hanya mungkin lewat dukungan dari masyarakat. Sukses Jakarta Untuk Indonesia!

Related Post

Post a Comment

Comments 0