Sisi Gelap Kehidupan Pemulung Sebagai Tragedi Kemanusiaan

Peri Irawan
Aug 01, 2023

Kondisi pemulung di TPST Bantargebang. Foto: KPNas

Oleh: Bagong Suyoto

Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)

 

Nestapa tiada tara tanpa penyangga. Fakta obyektif ini semakin tampak terang ketika didekati dengan mata telanjang dan hati matang.

 

Beberapa pemulung muda, usia produktif tampak sedih menjalani hidup berbulan-bulan ketika harga-harga berbagai sampah pungutan turun draktis. Mereka bilang pindah harga, 50-60%. 

 

Mereka hanya bisa pasrah dan tidak tahu harus mengadu kepada kemana, kepada siapa. Merupakan sisi gelap kehidupan pemulung dan sebagai tragedi kemanusiaan di abad modern ini. Mereka gamang menghadapi hari-hari kedepan. 

 

Meskipun peranan mereka cukup besar dalam perkembangan sektor daur ulang, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional. 

 

Adakah pihak yang mampu menolong pemulung dengan kekuasaan dan kebijaksanaanya agar dapat memperbaiki hidupnya? Mungkin, hanya Presiden RI dan para pembesar negeri yang dapat menjawab pertanyaan mereka. 

 

Banyak pengamat dan media mengungkapkan, bahwa pemulung mendapat hasil lumayan dari kegiatan mengais sampah. Bahkan, mungkin income-nya lebih besar dari sektor informal lain. Misalnya pemulung bisa memperoleh penghasilan Rp 150-200 ribu per hari. Pokoknya gambaran menyenangkan selalu ditampilkan.

 

Padahal jika turun ke lapangan pada bulan Juni-Juli 2023 atau sejak Januari 2023, semua itu hanya gambaran bombastis dan omong kosong belaka. Faktanya jauh sekali berbeda dari yang dipublikasikan di media massa.

 

Beberapa pemulung yang ditemui di zona IV TPST Bantargebang (28/7/2023) menceritakan hari-hari terburuk yang dialami belakangan ini. Mereka termasuk usia produktif, namun income-nya menurun sangat draktis, amat berpengaruh terhadap daya belinya.

 

Herman (21 th) pemulung lahir di Sumurbatu, orang tuanya dari Indramayu mengatakan, sekarang sulit untuk mendapat penghasilan yang besar. Maksimal hanya Rp 70 ribu sehari. Dulu bisa mendapat Rp 100 sampai Rp 150 ribu sehari. 

 

Ia bilang pingin memberi uang orang tuanya. Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan sendiri tidak mencukupi. Keadaan buruk tersebut disebabkan turunnya harga hampir semua sampah pungutan hingga 50-60%. Kondisi buruk ini dirasakan kawan-kawannya di Bantargebang.

 

“Saya pingin harganya kayak dulu lagi. Emberan Rp 2.500 per kg, sekarang turun jadi Rp 1.700 per kg. Jauh banget. Pingin harga naik seperti dulu. Busyeet daah kalo sekarang, buat orang tua nggak ada. Untuk jajan aja susah,” keluh Herman.

 

Beberapa temannya, yang duduk bersebelahan dan lainnya sedang memasukan sampah ke karung, ketika ditanya apa penyebab harga sampah turun. Mereka menjawab, kata bosnya harganya sedang turun. Setiap ditanya, dijawab bosnya, harga sedang turun dari sananya.

 

Mereka tidak mengadu ke lembaga pemerintah atau otoritas manapun. Mereka bilang, kami pemulung orang bawah, orang miskin hanya diam, menunggu keadaan mungkin suatu saat harga pulih lagi. Mereka hanya pasrah terhadap keadaan. Itu bagian sisi gelap kehidupan pemulung yang tidak diberitakan media. 

 

Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) dan Yayasan Kajian Sampah Nasional (YKSN) memdalami kajian turunnya harga berbagai sampah pungutan pemulung dan dampaknya terhadap kehidupannya. Kajian tersebut dilakukan sejak 2019 sampai Juli 2023. Hari-hari belakangan merupakan klimaks kesengaraan mereka.

 

Pengurus APPI dan juga pengepul, Duplok Nursaidi (45 th) mengungkapkan kekesalannya. Bahwa selama ini media hanya menceritakan sisi baiknya saja. Ketika pemulung dan pelapak terkapar dan sangat menderita tidak ada media yang berani memberitakan.

 

“Sekarang yang terjadi bukan turun harga, tetapi pindah harga. Kalau turun Rp 100 ribu, Rp 200. Contoh emberan biasa Rp 2.000, tapi sekarang di bawah Rp 600 per kg," tegasnya 

 

“Pindah harga masih mending. Harga udah turun, duwit gak ada. Sebut laku duwitnya nggak ada. Penyebabnya, limbah-limbah dari luar negeri, biji plastik masuknya luar biasa. Pemimpin-pemimpin sekarang nggak ada yang peduli sama pemulung," tambahnya. 

 

Untuk apa mendatangkan limbah, sampah dari luar negeri? Sampah dalam negeri cukup banyak. Bahkan semakin banyak daerah yang mengalami darurat sampah. Mestinya limbah, sampah dalam negeri yang diolah secara benar dengan melibatkan dan memperkuat peran pemulung dan pelapak. Agar kehidupannya menjadi lebih baik. 

 

Sekarang ini harga sampah dalam negeri sangat murah, duit tidak ada. Pemulung menjual barang seminggu kemudian baru dibayar. Bagaimana dengan pemulung yang dapat penghasilan Rp 60 ribu sehari? Punya anak dua, tiga, empat. Maka akan sangat bingung mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, biaya sekolah, uang jajan, dll. 

 

Kami menanyakan dengan kondisi buruk ini apakah sudah ada pejabat yang turun? Pemulung tidak ada yang membela. Mereka sudah mengadu kemana? 

 

“Bohong, bohong semua yang diberitakan media. Tak ada yang memberitakan kondisi buruk yang dialami pemulung. Jika apa yang saya katakan bohong. Silahkan datang ke lapangan," pintanya 

 

“Masa bodoh daah kalau ada perubahan, pasti nanti ada beritanya. Maka kami cari bener-benar yang berani memberitakan. Mungkin, nanti ada orang di atas, para Menteri mendengar kondisi menyedihkan ini," tutup Duplok. 

 

Dalam kondisi pemulung dan keluarganya semakin menyedihkan akibat harga berbagai sampah pungutan domestik turun draktis selama berbulan-bulan, diprediksi akan menambah angka kemiskinan di Indonesia.

 

Ujungnya pemulung miskin yang terpuruk akan mentransfer kemiskinan pada anaknya. Jika ini terjadi akan mencetak sejarah memilukan bagi sejarah kemanusiaan di abad milenial ini.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0