Foto ilustrasi: AI
KOSADATA – Pembangunan infrastruktur dan kawasan perumahan yang kian masif dinilai membawa dampak serius terhadap kelompok rentan, terutama petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok marjinal. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam Asia Land Forum Februari lalu, menyebut bahwa model pembangunan tanpa prinsip keadilan dan kemanusiaan berpotensi melanggengkan diskriminasi struktural dalam sistem agraria.
Di tengah konflik agraria yang terus meningkat, tiga perempuan muncul sebagai simbol ketangguhan dan perlawanan dari bawah.
Tiomerli Sitinjak: Memanjat Ekskavator Demi Tanah
Sudah dua dekade Tiomerli menggarap tanah di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Pada 2004, bersama warga, ia menempati lahan eks-HGU yang tidak diperpanjang. Namun, pada 2022, perusahaan kembali mendapat izin, mengerahkan ekskavator dan aparat untuk menggusur. "Kami melawan, memanjat ekskavator. Tanah ini sumber hidup kami," katanya. Meski Komnas HAM meminta penghentian aktivitas perusahaan, surat itu diabaikan. Bersama Serikat Petani Sejahtera Indonesia (Sepasi), ia terus memperjuangkan hak atas tanah.
Wati: Dari Yasinan ke Aksi
Di Banjaranyar, Ciamis, Wati menyulap pengajian menjadi ruang edukasi agraria bagi perempuan. Selama 24 tahun, ia dan warga memperjuangkan legalitas atas lahan garapan mereka. “Tanpa tanah, kami mau makan apa?” ujarnya. Bersama Serikat Petani Pasundan (SPP), ia membangun kesadaran bahwa perjuangan agraria bukan monopoli laki-laki. Kini sebagian wilayah sudah bersertifikat, sebagian lainnya masih terus diperjuangkan.
Luh Sumantri: Dua Dekade Menunggu Pengakuan
Sumantri adalah eks transmigran Timor Timur yang dipulangkan ke Bali pada awal 2000-an. Sudah 21 tahun ia tinggal di Desa Sumberklampok, Buleleng, namun hanya lahan pekarangan yang diakui negara. "Tak ada perusakan, tapi hak kepemilikan tak kunjung datang," katanya. Bersama suaminya dan pendamping KPA, mereka melakukan pemetaan partisipatif dan aksi damai. Sebanyak 107 kepala keluarga masih menanti legalitas atas 136 hektare lahan garapan.
Kisah tiga perempuan ini menegaskan: perjuangan agraria bukan hanya soal tanah, tapi soal keadilan dan keberlangsungan hidup. ***
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Relawan Ganjar Pranowo Berikan Dukungan ke PDIP di Pilpres 2024
POLITIK Mar 09, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0