Tiga Perempuan Tangguh di Garis Depan Konflik Agraria

Ida Farida
Apr 18, 2025

Foto ilustrasi: AI

KOSADATA Pembangunan infrastruktur dan kawasan perumahan yang kian masif dinilai membawa dampak serius terhadap kelompok rentan, terutama petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok marjinal. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam Asia Land Forum Februari lalu, menyebut bahwa model pembangunan tanpa prinsip keadilan dan kemanusiaan berpotensi melanggengkan diskriminasi struktural dalam sistem agraria.

Di tengah konflik agraria yang terus meningkat, tiga perempuan muncul sebagai simbol ketangguhan dan perlawanan dari bawah.

Tiomerli Sitinjak: Memanjat Ekskavator Demi Tanah

Sudah dua dekade Tiomerli menggarap tanah di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Pada 2004, bersama warga, ia menempati lahan eks-HGU yang tidak diperpanjang. Namun, pada 2022, perusahaan kembali mendapat izin, mengerahkan ekskavator dan aparat untuk menggusur. "Kami melawan, memanjat ekskavator. Tanah ini sumber hidup kami," katanya. Meski Komnas HAM meminta penghentian aktivitas perusahaan, surat itu diabaikan. Bersama Serikat Petani Sejahtera Indonesia (Sepasi), ia terus memperjuangkan hak atas tanah.

Wati: Dari Yasinan ke Aksi

Di Banjaranyar, Ciamis, Wati menyulap pengajian menjadi ruang edukasi agraria bagi perempuan. Selama 24 tahun, ia dan warga memperjuangkan legalitas atas lahan garapan mereka. “Tanpa tanah, kami mau makan apa?” ujarnya. Bersama Serikat Petani Pasundan (SPP), ia membangun kesadaran bahwa perjuangan agraria bukan monopoli laki-laki. Kini sebagian wilayah sudah bersertifikat, sebagian lainnya masih terus diperjuangkan.

Luh Sumantri: Dua Dekade Menunggu Pengakuan

Sumantri adalah eks transmigran Timor Timur yang dipulangkan ke Bali pada awal 2000-an. Sudah 21 tahun ia tinggal di Desa Sumberklampok, Buleleng, namun hanya lahan pekarangan yang diakui negara. "Tak ada perusakan, tapi hak kepemilikan tak kunjung datang," katanya. Bersama suaminya dan pendamping KPA, mereka melakukan pemetaan partisipatif dan aksi damai. Sebanyak 107 kepala keluarga masih menanti legalitas atas 136 hektare lahan garapan.

Kisah tiga perempuan ini menegaskan: perjuangan agraria bukan hanya soal tanah, tapi soal keadilan dan keberlangsungan hidup. ***

Related Post

Post a Comment

Comments 0