|

Butuh Sanksi Hukum untuk Pengelola TPA Sampah Tak Normal

Peri Irawan
Jan 26, 2023
0
1 minute

Oleh: Bagong Suyoto
Ketua Yayasan Pendidik Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)

Sebetulnya sudah lama dikenal istilah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah normal dan tidak normal, “buka”, “tutup”. Terma tersebut berkaitan dengan kondisi operasional TPA menerima kiriman sampah dari suatu wilayah kabupaten/kota.

Belakangan semakin marak sejumlah TPA tidak normal. Bisa jadi overload sampah. Bisa juga karena kondisinya darurat atau sangat darurat! Kasusnya ini melanda TPA Cipeucang Tangerang, TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, TPA Sarimukti Bandung, TPA Piyungan Yogyakarta, dll. Kondisi tersebut melanda TPA milik kota metropolitan, besar, bahkan kota kecil di Indonesia. Ada pula dalam kondisi darurat, sudah penuh sampah lalu dipindahkan ke tempat lain. Contoh kasus Subang Jawa Barat, dan wilayah luar Jawa.

Mengapa dan bagaimana suatu TPA dikatakan tidak normal? Artinya, kondisi TPA tersebut sudah penuh dengan berbagai jenis sampah sehingga tak mampu ditambahi sampah lagi. Sebab tidak ada pemilahan sampah dari sumber – nyaris terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Jika ada pengiriman baru, sejatinya ratusan truk sampah harus mengantri berjam-jam, bahkan ada yang sehari semalam. Ada yang mengistilahkan “antrian mengular”.

Ketika hujan gunung-gunung sampah TPA darurat longsor menutup dan menghancurkan infrastruktur jalan, drainase, IPAS, fasilitas gudang, dll. Hal ini dialami TPA Sumurbatu beberapa tahun lalu, pengomposan Patriot terkubur longsoran sampah. Belakangan akhir 2022 dan awal 2023 malapetaka sampah mendera TPA Burangkeng. TPA tersebut beberapa kali sampahnya longsor dan pengelolanya kuwalahan mengatasi kirim sampah. Kondisinya sangat kritis, boleh dibilang sudah tumbang! 

Berdasar pengalaman, sebelum tahun 2000-an, TPA tidak normal atau ditutup karena ada demontrasi, protes warga sekitar karena akibat pencemaran lingkungan massif akibat gas-gas sampah dan leachate, ancaman kesehatan warga sekitar. Seperti kasus buka tutup yang pernah dialami TPA Bantargebang tahun 199-2000-an. Juga kasus TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng belakangan makin marak diprotes warga, TPA Galuga Bogor, dll. Akarnya, TPA buruk mencemari lingkungan hidup, mengancam warga serta tidak ada kompensasi, lalu ditutup warga.

Berbeda dengan kasus-kasus belakangan, ditutupnya TPA karena semua zona sudah penuh dengan sampah. Bukan akibat didemo dan ditutup warga atau sejumlah aktivis lingkungan. Semakin banyak gunung-gunung sampah menjulang ke langit dan pencemaran (udara, tanah dan air) semakin meluas. Akibat TPA dikelola secara open-dumping, tidak ada IPAS (pengolahan air lindi). Sampah hanya ditumpuk-tumpuk saja. Merupakan bentuk mengelola sampah yang buruk.

Akibat pengelolaan TPA buruk dan sangat buruk, maka tidak mudah memasukinya. Harus ada ijin resmi terlebih dulu dari Dinas LH, setelah itu lapor ke kantor UPTD TPA, kemudian baru diantar oleh staf dan security memasuki area TPA sampah. Prosedurnya panjang, makan waktu dan TPA dijaga ketat selama 24 jam. Bayangkan hanya ingin melihat dan mendokumentasi sampah harus melalui prosedurnya panjang dan ketat?! Pengamanan dan penjagaan TPA sampah melebih penjagan emas atau intan berlian. 

Memang, perlu diakui mengelola sampah itu tidak mudah, apalagi yang jumlah timbulannya besar atau sangat besar, sudah mencapai 1.000 sampai 10.000 ton/hari. Untuk mengelola timbulan sampah ratusan ton/hari saja banyak yang kuwalahan. Jika hanya dilakukan sendiri (bidang persampahan) akan sangat berat. Maka diperlukan partisipasi semua pihak, yakni dunia usaha, masyarakat dan stakeholder lain. Dan, yang pasti butuh bantuan multi-teknologi,  infrastruktur dan anggaran yang cukup.

Jika dianalisa, bahwa selama ini pendekatan yang dilakukan masih kuno: kumpul-angkut-buang. Hanya memindahkan masalah saja. Merupakan cermin kebiasaan dan kultur zaman dulu. Ketika dulu penduduknya masih sedikit, jumlah timbulan sampah pun masih sedikit. Setiap rumah dapat menyelesaikan sampah di pekarangannya sendiri.

Sekarang penduduk semakin banyak dan sampahnya bertambah banyak. Gaya hidup makin konsumeris dan kemajuan pembangunan sudah begitu tinggi. Gaya hidup modern sudah menjadi bagian dari nafas hidup sehari-hari dan implikasinya sampah modern berupa gelas plastik, sendok plastic, berbagai kemasan plastik tak ramah lingkungan membani lingkungan hidup. 

Kita belum menghayati dan menerapkan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No. 81/2012, UU No. 32/2009, Perda dan peraturan perundangan terkait. Semestinya penanganan sampah mengikuti hirerakhi pengelolaan sampah. Amanahnya mengelola dan mengolah sampah dari sumber dengan multi-teknologi ramah lingkungan.

Mestinya kebijakan yang dibuat di pusat terintegrasi dan bisa diimplementasikan di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat RT/RW dan rumah tangga. Lembaga dan pejabat tingkat kelurahan/desa harus ikutserta menangani sampah. Hal ini telah diterapkan oleh pemerintah Kota Malang, Jawa Timur. Pekerja kebersihan persampahan dari Dinas Lingkungan Hidup dan kelurahan/desa.

Pekerjaan ini (kebersihan pengumpulan) diteruskan ke tempat pengolahan sampah, yakni ke TPS 3R atau pusat daur ulang sampah (PDUS). TPS 3R/PDUS punya peran penting dan strategis dalam mereduksi dan mengembalikan sampah menjadi sumberdaya. Ini merupakan bagian siklus circular economy riel.

Juga menjadi sangat penting mengkampanyekan dan mensosialisasikan “budaya malu”. Malu membuang sampah sembarangan. Karena akan mengotori jalan kampung, saluran air, pekarangan, sungai, pantai, laut, dll, akan mengundang berbagai penyakit, penyebab banjir, merusak keindahan dan merendahkan martabat manusia.

Kita perlu membudayakan; “Malu tidak memilah dan mengolah sampah” di tingkat rumah tangga, komunitas maupun TPA. “Malu hanya menumpuk-numpuk sampah di TPA”. Jadi, pemerintah pusat tidak hanya memberikan predikat kota terkotor ketika ada anugrah Piala Adipura. Tetapi juga memberi sanksi hukum bagi yang TPA-nya open dumping atau sangat buruk. 

Berdasar rapid assessment pada akhir 2022 dan awal 2023 serta kajian berita media massa sekarang masih banyak kasus orang membuang sampah di pinggir jalan raya, pinggiran kali, dll. Bahkan, yang menyedihkan pinggir kali/DAS dijadikan TPA illegal dengan motif bisnis/usaha. Meskipun sudah diberi tanda larangan. Merupakan patologi sosial mewabah!

Contoh papan peringatan: “DILARANG MEMBUANGAN SAMPAH DI SUNGAI/KANAL, WADUH, SALURAN LIMBAH, JALAN, TAMAN DAN TEMPAT UMUM sesuai Perda No. 15 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kota Bekasi, dikenakan sanksi kurungan 6 (enam) bulan atau denda Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)”. Fakta tersebut masih banyak orang membuang sampah di pinggir jalan di kota ini. Juga di wilayah Tangerang, Bogor, Bekasi, Karawang, Tegal, dll. Alasannya karena di lingkungan rumah tidak ada tong/bak atau container sampah. Dan tindakan tersebut lebih praktis dan tidak perlu biaya.

Mestinya ada juga pasang plang nama yang besar bertulis sanksi hukum bagi pengelola TPA yang tidak mengolah sampahnya. Pemerintah kabupaten/kota bisa pasang plang nama, berupa sanksi hukum pada pengelola TPA yang melanggar aturan. Formatnya bisa sanksi kurungan dan/atau denda.

Hal ini sangat sulit dilakukan, masalahnya, pemerintah kabupaten/kota itu regulator, pengawas, penegak hukum, dan juga leading dalam sektor persampahan. Tidak mungkin menghukum badannya sendiri meskipun melakukan pelanggaran hukum.

Jika TPA tidak normal atau tutup, sering tutup karena sudah penuh sampah, sebenarnya siapa yang salah atau tidak profesional? Bisa dibilang yang tidak profesional kepala UPDT TPA, Kabid Persampahan atau Kadis LH? Karena mereka yang memilih kepala UPTD TPA. Orang tidak ahli diserahi tugas berat.

Pada level lebih tinggi, semua itu yang salah kepada daerahnya, bupati/walikota. Karena tidak peduli dengan sampah dan TPA-nya. Kepala daerah bisa diseret ke ranah hukum/litigasi berdasar tuntutan lembaga lingkungan maupun class action warga sekitar (sesuai legal standing).

Kita butuh suasana baru yang mencerahkan agar persoalan sampah tidak berlarut-larut. Maka harus dilakukan penegakkan hukum pada pengelola TPA tidak normal, atau yang tidak mengolah sampahnya! Sudah waktunya kita berada pada era baru pengolahan sampah di Indonesia!* 21/01/2023. ***

Related Post

Post a Comment

Comments 0

Trending Post

Latest News