Foto: ist
Oleh: Dr. Eng. Marwan Rosyadi, ST., MT.
Direktur Pusat Kajian Advance Energy and Power System Solution Center (AEPS2 Center) ITPLN
Di tengah euforia transisi energi, ada satu kenyataan yang sering terlewat dari perbincangan publik: energi terbarukan tidak selalu hadir saat kita membutuhkannya. Matahari tidak bersinar 24 jam, angin tak bertiup sesuai jadwal. Intermitensi inilah yang diam-diam menjadi “hantu teknis” di balik ambisi besar menuju bauran energi hijau.
Dalam sistem tenaga listrik, fluktuasi sekecil apa pun berarti ancaman nyata. Grid harus menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan setiap detik. Ketika produksi surya turun mendadak akibat awan tebal atau turbin angin melambat karena angin mereda, frekuensi dan tegangan dapat bergeser. Tanpa kompensasi cepat, stabilitas sistem bisa terguncang.
Masalah ini bukan sekadar teknis. Ia adalah soal kesiapan infrastruktur, investasi, dan strategi besar energi nasional.
Ketika Penyimpanan Energi Jadi “Pahlawan yang Terlambat Dikenal”
Di sinilah teknologi penyimpanan energi memainkan peran krusial. Baterai skala besar (BESS), pumped hydro, hingga teknologi penyimpanan alternatif lainnya diperlukan untuk menyerap kelebihan produksi saat energi berlimpah, lalu mendistribusikannya kembali ketika produksi menurun.
Tanpa penyimpanan, energi terbarukan ibarat mobil tanpa rem tangan: bisa melaju kencang, tapi mudah tergelincir saat kondisi berubah.
Namun penyimpanan saja tak cukup. Sistem harus lebih fleksibel. Pembangkit konvensional perlu mampu ramping lebih cepat, smart grid harus memberi visibilitas dan respons real-time, dan program demand response perlu membuat beban lebih “pintar” dalam menyesuaikan diri terhadap ketersediaan energi.
Beban Infrastruktur yang Tak Bisa Lagi Ditunda
Indonesia masih bergulat dengan keterbatasan sistem proteksi, teknologi kontrol inverter, hingga kapasitas cadangan operasi. Integrasi energi terbarukan membutuhkan fondasi baru: prediksi
Comments 0