|

Mahfud MD Dukung KPU Ajukan Banding Lawan Putusan PN Jakpus Tunda Tahapan Pemilu

Abdillah Balfast
Mar 04, 2023
0
1 minute

KOSADATA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendorong Komisi Pemiluhan Umum (KPU) untuk naik banding, dan melawan secara hukum atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan Pemilu 2024 ditunda. 

Berdasarkan logika hukum, kata Mahfud, KPU pasti akan menang dalam upaya banding di pengadilan tinggi. Sebab, pengadilan negeri tidak punya wewenang untuk memutuskan penundaan tahapan pemilu.

"Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut," kata Mahfud melalui akun Instagram resminya @mohmahfudmd, Jumat (3/3/2023).

"Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul," sambungnya. 

Mahfud MD menilai bahwa putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan Partai Prima tersebut salah, dan membuat sensasi yang berlebihan. 

"Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh pengadilan," katanya.

"Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," sambungnya. 

Mahfud menjelaskan, penundaan pemilu tidak bisa dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri  sebagai kasus perdata. 

"Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN," katanya. 

"Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia," sambungnya. 

Mahfud menjelaskan, ada empat alasan hukum yang membuatnya yakin bahwa KPU akan menang. Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu telah diatur tersendiri dalam hukum. Jika sengketa sebelum pencoblosan terkait proses administrasi, yang memutus harus Bawaslu. Namun jika menyangkut keputusan kepesertaan, paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.

"Nah, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara," kata Mahfud.

Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu," ucapnya. 

Kedua, kata Mahfud, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Mahfud menjelaskan, tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan PN. 

Menurut undang-undang, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. 

Ketiga, Mahfud mengatakan jika vonis pengadilan negeri itu tidak bisa dimintakan eksekusi, karena melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU. 

"Menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU," katanya. 

Keempat, Mahfud menyebut, jika putusan penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata partai politik tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi. 

“Bukan hanya bertententangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali," katanya.(***)

Related Post

Post a Comment

Comments 0

Trending Post

Latest News