Oleh: Eko Sulistyo
Komisaris PT PLN (Persero)
Transisi energi adalah isu yang semakin aktual saat ini seiring dengan komitmen global upaya penurunan emisi karbon. Transisi energi adalah proses menurunkan bahan bakar fosil dan mengembangkan kembali seluruh sistem untuk beroperasi pada sumber energi rendah karbon.
Kini telah banyak negara melakukan transisi energi untuk memenuhi target Net Zero Emission (NZE) atau netral karbon.
Sebagai Keketuaan organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) 2023, Indonesia bisa mendorong anggota ASEAN agar lebih agresif melakukan transisi energi.
Indonesia juga bisa menjadi benchmark transisi energi di kawasan ASEAN, mengingat pasar energi terbesar di kawasan ini adalah Indonesia. Merujuk pada KTT G-20 di Bali 2022 lalu, Indonesia sudah menuju episentrum global dalam transisi energi yang diapresiasi dunia internasional.
Perkembangan positif lainnya adalah saat World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, Januari 2023 lalu, dengan terbentuknya komunitas baru untuk mendorong transisi energi berkeadilan di ASEAN.
Forum Davos ini menjadi pertemuan perdana para pemimpin ASEAN untuk transisi energi yang berkeadilan. Komunitas ini bertujuan mempertemukan berbagai perusahaan multisektoral di ASEAN untuk mendorong transisi energi yang adil di kawasan.
Kekuatan Besar
ASEAN adalah kekuatan besar energi global yang sedang berkembang, dengan kecepatan pembangunan ekonominya membuat semakin penting bagi pemerintah kawasan ini untuk mempercepat upaya transisi ke energi berkelanjutan dan mendapatkan dukungan internasional.
Dalam ASEAN Plan of Action for Energy Coorperation Phase II (2021-2025) , ASEAN berkomitmen untuk mencapai 23% energi terbarukan dalam pasokan energi primer dan 35% kapasitas daya terpasang pada 2025. Selain itu, cetak biru regional juga mencakup optimalisasi teknologi batubara bersih sebagai salah satu tujuan dari programnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Badan Energi Internasional, Southeast Asia Energy Outlook 2022, ASEAN membutuhkan total investasi mencapai US $ 190 miliar per tahun pada 2030 (IEA, 2022). Mengingat pembiayaan pembangunan internasional ini sangat penting, anggota ASEAN dapat mengurangi biaya pembiayaan dan menarik investor swasta dengan menunjukan komitmen mereka yang jelas dengan meningkatkan kerangka regulasi dan pembiayaan.
ASEAN juga dipandang akan memainkan peran utama dalam transisi energi global sebagai pemasok utama mineral penting dan produsen produk energi bersih. Indonesia dan Filipina adalah dua produsen nikel terbesar di dunia. Indonesia dan Myanmar tercatat sebagai produsen timah terbesar kedua dan ketiga di dunia.
Myanmar menyumbang 13% dari produksi tanah jarang (rare earth) global, dan ASEAN menyediakan 6% dari bauksit dunia. Sementara itu, Malaysia dan Vietnam adalah produsen modul photovoltaic (PV) surya terbesar kedua dan ketiga di dunia. Thailand adalah produsen mobil terbesar ke-11 di dunia dan dapat menjadi pusat manufaktur utama untuk kendaraan listrik.
Komitmen sepuluh negara anggota ASEAN untuk mencapai NZE pada 2050, adalah kabar baik lainnya (aseanenergy.org, 27/6/2022). Indonesia telah menetapkan target NZE pada 2060, sementara Filipina belum berkomitmen untuk mencapai nol bersih pada 2050. Target untuk NZE bisa saja berbeda tiap negara, yang menunjukan bahwa praktik mencapai nol bersih, tidak mudah.
Perkembangan menarik lainnya adalah ketika sumber daya energi hijau di kawasan ASEAN terus meningkat. Keberhasilan Vietnam di pasar tenaga surya global menunjukkan apa yang mungkin terjadi ketika kemauan politik, reformasi sektoral, dan insentif pasar bersatu.
Laos, yang telah menyatakan diri sebagai “baterai Asia” adalah salah satu negara terkaya di kawasan ini dalam hidro power. Sementara Indonesia dan Filipina menguasai hampir seperempat kapasitas pembangkit panas bumi dunia.
Terlepas dari ketergantungan pada batubara untuk kelistrikan di ASEAN saat ini, dan rumah bagi salah satu armada pembangkit listrik batubara termuda di dunia, negara-negara di kawasan ini telah mulai memperluas energi terbarukan, elektromobilitas, dan transisi energi hijau.
Sebagai perusahaan utilitas di Indonesia, PT PLN akan menghapus pembangkit listrik batubara pada 2060. Bersama Filipina dan Vietnam, Indonesia berencana untuk mengurangi hingga 62 gigawatt (GW) tenaga batu bara yang sudah direncanakan sejak 2020.
Jaringan Listrik
Bersama negara ASEAN lainnya, Indonesia telah merintis ASEAN Power Grid pada 2021, untuk membantu meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan di wilayah tersebut. Infrastruktur ini merupakan kebutuhan dasar sebagai medium potensi dan integrasi jaringan yang terkoneksi dengan desain pasar listrik regional dan regulasi terkait atau cross-border electricity trade (CBET).
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, membangun ASEAN Power Grid adalah guna memenuhi target ASEAN Plan of Action of Energy Cooperation/APAEC. Saat ini sudah ada beberapa proyek interkoneksi jaringan sebagai bagian dari mekanisme ekspor-impor listrik di ASEAN, seperti antara pulau Malaysia-Singapura (Plentong-Woodlands); Thailand-Pulau Malaysia (Sadao-Chupping, Khiong Ngae-Gurun), Indonesia-Malaysia (Kalimantan Barat-Sarawak), dan Thailand-Laos.
Salah satu contoh proyek dengan beberapa momentum menuju bentuk integrasi yang lebih dalam adalah Proyek Integrasi Ketenagalistrikan Laos-Thailand-Malaysia-Singapura. Proyek ini merupakan skema CBET pertama di kawasan ASEAN yang memungkinkan CBET trilateral dan akhirnya multilateral.
Malaysia membeli listrik hingga 100 MW dari Laos melalui negara transit (Thailand) dengan menggunakan jaringan transmisi yang ada. Dalam kerangka hukum dan kontraktual, perjanjian tripartit yang dikenal sebagai energy purchase and wheeling agreement (EPWA) ditandatangani oleh EDL (perusahaan energi Laos), EGAT (Thailand), dan TNB (Malaysia) pada 27 September 2017, saat Pertemuan Menteri Energi ASEAN ke-35.
Untuk mengimplementasikan proyek-proyek energi rendah karbon, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, memberikan solusi kebijakan jangka pendek ke negara-negara ASEAN demi menciptakan ketahanan energi yang kuat. Pertama, memperbaiki sistem pembangkitan dengan menggunakan teknologi rendah emisi. Kedua, menghindari emisi dengan menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS), dan terakhir mendukung pengembangan energi terbarukan.
Secara garis besar, motivasi utama integrasi jariangan ASEAN adalah kohesi regional, optimalisasi energi yang beragam dan terdistribusi, ketersediaan energi dan listrik yang terjangkau, serta akses ke sumber daya dan pasar di luar perbatasan.
Kemudian integrasi peningkatan pangsa energi terbarukan, dan harga listrik yang kompetitif melalui platform pasar. Pada gilirannya memberikan manfaat seperti keuntungan ekonomi, operasional teknis dan sistem, serta ruang investasi.
Sebagai Ketua ASEAN 2023, kebijakan dan kepemimpinan Indonesia akan menjadi sangat penting untuk menentukan kebijakan energi di masa depan. Indonesia dapat mendorong kolaborasi perdagangan listrik berbasis energi terbarukan multilateral melalui jaringan listrik ASEAN.
Melalui kerja sama ini, Indonesia tidak hanya dapat menjadi aktor utama dalam sistem energi global, tapi juga menciptakan masa depan kawasan ASEAN yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih hijau bagi generasi mendatang.***
Kelompok 3 Praktikan PLKJ 34 Cibegol Targetkan Cetak Buku Bersama di Tasikmalaya
Feb 25, 2023Mau Tukar Uang Baru Buat Lebaran? Berikut Lokasinya di Jakarta, Bogor dan Tangerang
Mar 27, 2023
Comments 0