Rempang: Di Antara Suara, Doa, dan Masa Depan

Ida Farida
Apr 06, 2025

Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara berdialog dengan penduduk Rempang. Foto: IG Kementrans

sejajar dengan warga yang kemarin masih berdemonstrasi. Tidak ada garis batas. Tidak ada dikotomi antara “yang setuju” dan “yang menolak.” Hanya umat yang sedang berdoa bersama.

 

Setelah itu, beliau kembali ke Eco Park, bersilaturahmi dan makan opor bersama keluarga calon transmigran. Dalam suasana lebaran yang syahdu, beliau menyampaikan, “Saya ingin merasakan roso, jiwa, soul yang dirasakan masyarakat Rempang saat merayakan Idul Fitri ini. Dan saya juga ingin meminta maaf kepada warga Rempang atas langkah-langkah pemerintah yang mungkin pernah menyakitkan.”

 

Kami menutup perjalanan ini dengan menghadiri open house di rumah dinas Walikota Batam. Dalam perjalanan, Pak Menteri tetap membuka waktu untuk wawancara dengan jurnalis. Tidak lelah. Tidak tertutup. Karena bagi beliau, mendengar adalah bagian dari pekerjaan.

 

Refleksi Akhir

 

Rempang bukan hanya nama pulau. Bukan pula sekadar tanah seluas 17.000 hektare yang dihuni 2.637 kepala keluarga. Ia adalah suara. Ia adalah doa yang menunggu dikabulkan. Ia adalah harapan bahwa pembangunan tidak semestinya menjadi alat pemaksaan, melainkan jalan menuju keadilan.

 

Di Rempang, tak ada SMA. Apalagi perguruan tinggi. Di antara suara-suara yang menyambut relokasi dengan hati terbuka, ada satu hal yang terus disuarakan: masa depan.

 

“Saya nelayan. Saya sadar, kalaupun nanti ada industri di Rempang, saya mungkin tetap jadi nelayan, atau paling banter buruh pabrik. Tapi saya ingin anak saya bisa sekolah tinggi. Saya ingin di Rempang nanti ada SMA dan perguruan tinggi. Supaya anak-anak kami bisa belajar, lalu bekerja di tanah sendiri. Jadi mandor, atau bahkan pimpinan di industri itu. Jangan seperti tetangga saya—anaknya sekolah tinggi ke luar Rempang, lalu


1 2 3 4 5

Related Post

Post a Comment

Comments 0