Faksi Politik Umat, Demokrasi dan Kedaulatan Agraria

Isma Nanik
Sep 25, 2023

Foto: Sasint/pixabay

Merauke, Sulawesi dan Kalimantan yang semakin banyak dan luas sebagai dampak pembangunan infrastruktur era Rezim Jokowi. Pemerintah sebagai penguasa hak atas hutan negara memberikan konsesi kepada perusahaan baik BUMN atau swasta, kemudian memaksa warga yang tidak punya sertifikat kepemilikan lahan untuk direlokasi dengan ganti uang kerahiman. Konflik tanah rakyat era Orde Baru seperti Badega, Cimacan dan Kedungombo juga memiliki modus operandi yang tidak jauh berbeda, kecuali Orde Baru merupakan rezim pemerintahan otoriter yang didukung Tentara. 

 

Era Reformasi yang berlandaskan pada agenda demokratisasi, justru tidak memperbaiki manajemen agraria yang tetap sentralistis. Pemerintahan era reformasi tetap menggunakan strategi pro pertumbuhan ekonomi sebagaimana Pemerintahan Orde Baru, di mana lahan adalah faktor produksi yang dikuasai negara dan dapat dijadikan konsesi kepada atau investor yang memiliki modal untuk mengusahakannya agar menguntungkan. Keuntungan tentu saja akan lebih banyak dinikmati sang investor alih-alih dinikmati negara dalam bentuk pajak yang dapat dibelanjakan untuk membangun fasilitas publik untuk rakyat.

 

Faksi Politik Umat dan Konflik Agraria

Menghadapi dua konflik terakhir, fenomena politik yang menarik adalah tercetusnya sikap solidaritas umat atas warga Rempang dan Air Bangis yang terdampak program pengadaan lahan negara. Diawali oleh kasus Rempang, Ustadz Abdul Somad (UAS) dan beberapa tokoh Melayu dengan lantang menolak relokasi warga Rempang yang merupakan etnis Melayu dari suku Orang Laut, dan menurut beberapa sejarawan merupakan keturunan prajurit Kesultanan Riau Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat, tak jauh dari kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.

 

Seruan UAS memicu solidaritas Bangsa Melayu ditandai dengan aksi massa lanjutan seperti pendudukan kantor BP


1 2 3 4 5 6

Related Post

Post a Comment

Comments 0